‘Ide’alisme Tinggal Di Kepala
“Apa kau
benar-benar yakin untuk pergi teman?” Tak jemu aku mendengar pertanyaan serupa
dalam jeda waktu tak begitu lama. Namun, bedanya kali ini ia menambahkan 10
huruf B dan R untuk setiap kata ‘benar’ yang ia ucapkan. Tak jemu pula aku menjawab “lebih
dari yakin sobat, tak banggakah kau berteman denganku kelak saat mengetahui betapa
hebatnya aku terlihat dengan pengalaman yang akan jauh lebih tua dari total jumlah
umur kita berdua?” Ujarku berapi-api. “Tidakkah terbayang olehmu satu detik
adalah pengalaman dan berapa hasil perkalian pengalaman yang kupunya jika
dikali detik-detik dalam setahun?”
Aku tersenyum sumringah minta ampun sedangkan kau
mengerlingkan mata indahmu yang selama ini cukup membuatku terpukau. Aku tahu
betul kalau gaya itu menandakan kau belum cukup yakin dengan alasanku. “Ayolah
teman, apa kau kuat dengan kondisi geografis, topografis, demografis,
sosiologis dan peradaban yang menantimu di sana?” Ah, kau mulai lagi menceracau
dengan pemakaian istilah yang kurang kumengerti. Sepertinya kau juga tak begitu
paham dengan ucapanmu. Itu terlihat dari senyummu yang kurang enak dipandang.
“Justru itulah yang aku cari, aku sudah terbiasa dengan kondisi geografis,
topografis, demografis, sosiologis dan peradaban yang disuguhkan hidup kita yang
terlalu biasa ini. Tak maukah kau melihatku menjadi sosok yang luar biasa?
Untuk itu, aku harus menjalani hal yang di luar kebiasaanku. Kau macam tak
mengerti saja, orang seperti kita bisa hidup jika melakukan apa yang orang lain
tidak bisa lakukan.”
Aku
melihat kilatan sinar liar di matamu. Aku tahu, pasti ucapanku barusan
membuatmu terpana. “Oh ya, khusus untuk peradaban. Aku malah tidak sabar
merasakan lonjakan nilai harga listrik, air, signal, internet, dan teh botol
sosro di mataku. Aku akan menjadi orang yang lebih bersyukur usai setahun ini.”
Kilatan di matamu sepertinya bertambah. Dan perlahan kau menarik nafas panjang.
Aku pikir kau akan menanggapi perkataanku namun ternyata kau hening-hening
saja. Mungkin kau menunggu kelanjutan ceritaku. Baiklah, sebenarnya aku punya
keinginan yang energinya jauh lebih kuat dari itu. Ini adalah perkara
idealisme. “Teman, jujur saja aku lebih suka membangun daripada melanjutkan.
Jika kau jadi guru nanti, kau pasti akan mengerti bagaimana rasanya menjadi
konstruktor sosial, bukan pekerja
sosial. Ini adalah soal pengabdian kecil yang bisa kuberikan kepada sesama
manusia, yaitu siswaku nanti. Aku tak rela memadukan pekerjaan dengan
pengabdian teman. Setidaknya aku bisa membangkitkan mereka akan mimpi besar
yang juga berhak mereka bangun dan gapai. Hal itu akan membuatku sangat puas
pernah hidup di dunia ini.” Kau masih saja hening. “Hei, apa aku terdengar
sangat muluk? Memang, aku sadar itu, namun itulah yang kurasakan sekarang, tak
tahulah besok-besok,” ucapku santai tapi pasti.
Kau
kini menatapku baik-baik. Sepertinya kau ingin melawan argumenku dengan yang
lebih jitu lagi. “Aku terkesan dengan mimpimu itu. Namun aku kurang setuju bila
kau membedakan pekerjaan dengan pengabdian. Kau bisa saja berjalan beriringan
bersama keduanya. Kau tahu maksudku? Aku tak mau kau rela berkurus-kurusan
lebih dari ini demi siswa-siswamu di sekolah itu. Aku juga sangat terkesan
dengan idealisme yang ingin kau realisasikan jika kau mampu mempertahankannya
sekuat yang kau bisa.” Kau menekan kata ‘jika’ jauh menukik ke bawah. Kemudian
kau melanjutkan ucapanmu “Kau tahu mengapa namanya idealisme? Ah, maaf aku
terkesan meragukanmu. Sama sekali tidak, aku sangat yakin kalau kamu pasti
bisa. Aku mendoakanmu dari jauh. Selamat berjuang teman, jangan lupa ucapkan
salam perpisahan pada teh botol sosro.” Kini, kita tertawa terkikik-kikik
menyambung ucapan terakhirmu. “Hoho, terima kasih teman.”
***
Hari
ke-16 di Aceh Selatan
Maaf
teman, tak jua kuberkabar meski sudah lebih dua minggu aku bermukim di sini. Aku
sekarang mengajar di SMA yang berada di salah satu ibu kota kecamatan.
Lokasinya kurang lebih 10 KM dari Tapak Tuan, Ibu Kota Aceh Selatan, sekira 20
menit bila kita tempuh dengan kendaraan roda dua. Aku tinggal di rumah kepala
sekolah yang telah menganggap kami bagian dari keluarganya. Dari sana menuju ke
pasar, mesjid, dan ATM bisa saja ditempuh 10 menit berjalan kaki.
Ahai,
kau pasti sudah tahu kemana arah ceritaku. Pasti kau akan tanyakan, dimana
“makam” satu detik petualanganku itu! Tak perlulah kujawab itu, aku saja sudah
sangat repot bermalu-malu bertemu teh botol sosro mengingat salam perpisahan
yang sudah kusampaikan padanya jauh hari sedangkan kami bisa saja bersua setiap
hari.
Teman,
kuharap kau tak bosan mendengar ceritaku. Karena inilah hal yang paling penting
yang ingin kusampaikan. Kuharap kau jangan menertawaiku di tempat nun jauh di
sana. Aku dan temanku di satu program yang sama terkejut kala menyusun bangku
dan menempel nomor ujian di tiap meja. Kau masih hafal bagaimana raut wajahku
kala terkejut bukan? Dari 18 ruangan yang ada, sekitar 10 ruangan kekurangan
meja dan kursi. Tentunya ini adalah hal yang aneh bagi kami karena sebelumnya
ketika beberapa kali masuk lokal, hampir seluruh lokal kelebihan meja dan
kursi. “Memang Buk, ini adalah hal biasa karena ketika ujian semua siswa hadir
sedangkan saat belajar banyak yang alfa.” “Lha, kok malah guru-guru di sini tak
ambil sikap, tak adakah sanksi disiplin yang ditetapkan sekolah?” Tidak ada
yang menjawab karena memang kubertanya dalam hati.
Esoknya,
“Nti, ada siswa yang selama proses pembelajaran 30 kali Alfa, 18 Izin, 11
Sakit. Ada juga 27 kali Alfa, 18 Izin, 17 Sakit. Itu hanya secuil dari sampel
siswa yang Kakak tahu. Belum lagi yang lain.” Hmm, di sini yang harus guru
lakukan adalah pendekatan personal. Datang ke rumah siswa kemudian memberi
pengertian kepada orang tua dan siswa itu sendiri akan makna belajar. Pikirku
membatin. Tapi, baru terlintas niat itu di hatiku. Kulihat siswa-siswa yang
berlarian di halaman sekolah meski bel tanda keluar belum berbunyi.
Kuperhatikan siswa yang disebutkan temanku tadi. Ia tinggi besar dengan kulit
gelap dan wajah yang keras. Perawakannya lebih terlihat seperti bapak-bapak.
Aku pun mundur perlahan dari tempat semula kuberdiri. Ah teman, apa benar orang
menamakan ‘idealisme’ itu ‘idealisme’ agar kehadirannya tetap tinggal di kepala?
Dan, masihkah kau mendoakanku di sana?
00.31,
Blangkuala, Meukek, Aceh Selatan, 26 Desember 2011
Komentar
Posting Komentar