Mendaki, Berlari, Berhenti
Kami bersiap
sejak pukul 6 tadi walau berbahagia jauh-jauh hari. Tas punggung, sepatu
amphibi, baju kaos dan celana training, serta seperangkat makan siang dibawa
tunai. Cuaca sangat bersahabat. Tak ada angin dan hujan lebat seperti beberapa
hari terakhir di Meukek. Tak sabar rasanya menanti jam 8 nanti karena di jam
itu, siswa-siswaku akan datang menjemput dan membawa kami menjelajah ke gunung.
Gunung Meukek namanya kata mereka bersitegang kala itu. Sedang kami tetap bersikukuh
bahwa itu Bukit Meukek dengan puluhan alasan ilmiah yang kami kemukakan. Mereka
tidak mau terima karena nama itu sudah turun temurun dari nenek moyang kami,
kata mereka. Kami tak percaya, tapi daripada anak-anak kecil ini menangis, kami
lebih baik ikut menamai bukit yang akan kami naiki nanti dengan sebutan gunung.
Dari pada acara ini batal saudara-saudara.
Aku meneguk segelas susu hangat di hadapanku dengan penuh
ketidak hati-hatian. Kerongkonganku terpaksa bekerja lebih ekstra akibat ulahku
ini sehingga, huk huk, aliran susu di kerongkonganku serasa air bah yang
menghantam dinding-dinding bagian dalam leherku dengan sangat sembrono. “Sakit.
. .” rengekku dengan muka ditekuk. Ayolah Santi, sabar sedikit ujar perutku
menghiba. Perkakas tubuh yang lain mengiyakan. Hus. . .mengapa tiba-tiba mereka
bicara ya? Hehe, tak sabar, tepat sekali perut, jawabku pun.
Hoalah, ini masalah hobi teman. Jarang sekali aku punya
sedikit waktu luang untuk menyalurkan kegemaranku ini di tengah aktivitas
menjadi guru yang juga tak kalah seru sih. Tapi ini lain, mendaki merupakan hal
yang sangat istimewa dan menyenangkan. Jika diumpamakan pada makanan, dia
berperan sebagai poin kelima yaitu susu, penyempurna 4 sehat. Kendati ini butuh
kekuatan yang tak banyak aku miliki, hal ini akan terasa mudah jikalau aku
menikmatinya bukan? Kata teman-teman komunitas mendakiku dulu, aku bukanlah
pendaki yang menyenangkan karena lebih banyak menyusahkannya daripada
memudahkannya. Setiap mendaki, teman-temanku akan menyesal dengan kebaikan hati
yang mereka miliki karena selalu tak tahan hati melihat tas punggungku yang terlihat
lebih berat dari bobot tubuhku. Nanti mereka akan membantu membawakannya.
Setiap ada sungai, aku pasti akan bergelayut di tangan atau leher teman yang lebih
besar dariku karena aku phobia dengan aliran air di sungai, pernah hanyut dan
tenggelam kala masih balita dulu, hehe. Dan bila mendaki sedikit terjal, aku
akan istirahat dengan duduk yang tenang di tengah jalan sambil memain-mainkan
tungkai kakiku. Alhasil gunung yang bisa didaki sehari bisa menjadi 2 atau 1,5
hari. Eits, bukan berarti mereka meninggalkanku lho, aku pun tak menyangka ternyata
mereka terbiasa denganku karena aku telah siap dengan gombalanku, “Aku lemah
teman, tapi kalian selalu membuatku kuat, terima kasih atas segalanya,” sambil menyentuh
pipiku yang dingin dan meremas-remas kakiku yang aduhai kayaknya udah rontok
nih.
But well,
sesakit-sakit apapun sebuah pendakian dan setertatih-tertatih apapun aku
berjalan, aku tetap cinta mendaki. Bagiku mendaki adalah cara lain bertemu
Tuhan. Merasakan kehadiran-Nya lewat karya-Nya yang menakjubkan. Membiarkan
bisikan-bisikan alam yang penuh damai merasukiku melalui pori-pori kulit. Dan
yang tak kalah penting membiarkan fikiranku bernafas sehingga aktivitas
mengkhayalku bisa tersalurkan dengan baik. Kau tahu, selama aku ditugaskan
menjadi guru di sini, banyak sekali hobiku yang tidak terurus dengan baik.
Mulai dari hobi mengoleksi permen karet unik, mengkliping foto kartun terbaru
dari koran, mengoleksi kura-kura, mengoleksi pernak pernik berbau kota, naruto
dan kimia (waduh banyak lagi nih) hingga berimaji liar seperti yang kukatakan
tadi. Harusnya, jika aku mau tidur, aku harus mengkhayal dulu agar bisa
terlelap dengan indah. Jika tidak mengkhayal, jangan harap aku terhindar dari
pemilik mata panda. Tapi apa yang terjadi akhir-akhir ini, saking aku dan
otakku sibuk, aku seenaknya saja tidur tanpa doa dan mengkhayal dulu. Bahkan
aku pernah tertidur sambil mengetik bahan ajar di depan laptop, na’udzubillah.
Makanya
aku sudah tak sabar lagi menunggu jemputan dari siswa-siswaku itu. Dan hei,
belum habis minumanku, mereka berdua datang menjemput. Secepat kilat kami
mengambil barang-barang yang telah kami persiapkan dan berlari menyongsong dua
lelaki kecil tersebut. Mereka adalah Aga Prastika dan Zammilia. Aga, begitu ia
biasa disapa merupakan ketua kelas 2 IPA 2. Ia tinggi, hitam manis dengan
senyum yang tak kalah manis. Kini, usianya barulah sekira 16 tahun. Jika kamu
berbicara dengan Aga, Aga lebih banyak tersenyum daripada bicara. Satu
pertanyaan darimu maka kamu akan mendapat dua. Maksudnya dua adalah satu
senyuman dan satu jawaban. Beruntung bukan? Nama selanjutnya adalah Zammilia,
sepintas dari namanya lebih cocok untuk nama perempuan. Aku ingat, kala pertama
kali masuk lokalnya dulu, tatkala aku mengambil absen, aku mencari-cari sosok
Ami di barisan tempat duduk perempuan. Ternyata yang mengangkat tangan, laki-laki
yaitu dia. Ami adalah ketua kelas 2 IPA 3. Oh bukan, maksudku 2 IPA Makcie 3.
Makcie adalah bahasa Aceh dari nenek. Kata makcie untuk 2 IPA 3 dalam
sejarahnya terjadi karena penghuni lokal tersebut cerewetnya minta maaf (eh
ampun, maksudnya). Alhasil Ami kupanggil Makcie. Makcie tidak setinggi Aga
namun kulitnya sama seperti Aga, sama-sama hitam manis. Kemudian senyum Makcie
tidak semanis senyum Aga, tapi ketawanya yang manis karena pada saat Ia
tertawa, lesung pipinya muncul dengan sangat jelas. Dan yang sangat jauh beda
dari kedua ketua kelas ini adalah Aga pendiam sedangkan Makcie cerewet sekali
seperti namanya. Meski begitu, ternyata Ami berasal dari keluarga kerajaan.
Nama Makcie sebenarnya adalah Teuku Zamil Ya, dan pada suatu zaman dan suatu
ketika, ayahanda Ami mencabut nama Teuku tersebut karena tidak ingin
memakai-makai titel seperti itu. Untuk hal itu, aku setuju dengan ayah Ami.
Tapi Zamil Ya menjadi Zammilia itu perkara lain. Hal ini karena kesalahan guru
SD Ami yang salah ketik. Fiuh. . .betapa banyak korban-korban salah ketik dari
guru SD di dunia ini yang tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Seperti
aku, Syofiana menjadi Syafiana. Kejam!
Sesaat
sebelum pendakian dimulai, acara sedikit terganggu dengan pelupaku yang mendadak
kumat. Aku lupa bawa HP dan kunci Labor TIK untuk mengambil notebookku di dalam
lemari labor. Sehingga dijemput lagi ke rumah, diambil HP-nya, dicari-cari kuncinya
dalam rentang waktu yang tidak sesingkat-singkatnya dan ternyata kunci itu
telah duduk manis di dalam tas yang kukundang-kundang sejak zaman batu. Selain
itu, di TKP pun kami harus menunggu Aga dan Ami yang bolak-balik mengantar
jemput Fatha, Uyun dan Ihsan. Ketiganya juga merupakan siswa kami. Fatha dan
Uyun sama-sama penduduk 2 IPA 2 dan Ihsan, kelas 2 IPS 2. Fatha dan Uyun laksana
kembar siam karena dimana ada Fatha, di sana akan ada Uyun. Begitu juga sebaliknya.
Fatha tinggi tegap, berkulit sawo matang, pendiam dan pemalu yang tak
ketulungan. Mungkin karena itulah ia cocok berteman dengan Uyun karena Uyun tak
begitu pemalu dan easy going. Ops, aku hampir lupa
memperkenalkan Ihsan. Aduh bagaimana ya? Bukan maksud apa tapi aku tidak pernah
mengajar di lokal itu. Yang jelas Ihsan adalah climb guide kami sehari itu. Ia berjalan paling depan dengan membawa
embong (mohon dicek penulisannya) semacam tas rotan punggung yang digunakan
petani di Meukek untuk membawa hasil kebunnya seperti pala. Sambil menyelam minum air, begitulah Ihsan
dikala mengantar kami ke atas gunung. Dimana mengantar kami adalah minum dan
memanen pala adalah menyelamnya. Nevermind
lah ujarku sambil tertawa karena Ihsan sedikit indigo menurutku (hehe
bercanda).
Semua
anggota siap memulai pendakian. Tanpa pemanasan. Langsung tancap gas.
Siswa-siswa kecilku ini mendaki bagai kesurupan. Kencang, cepat tanpa
istirahat. Aku berusaha mengikuti. Lelah memang tapi aku harus jaga image donk. Masa’ kalah oleh siswa, uh.
Kupacu langkah dan kukuatkan ayunan kakiku. Tetapi lambat laun aku pun tumbang
jua. Aku istirahat di setiap aku ingin istirahat ditemani kicauan Makcie dengan
250 kata per detik tiap satu helaan nafas. Banyak cerita yang kudapat dari
Makcie. Makcie bilang, di gunung yang sedang kami daki ini memiliki nilai
sejarah yang tinggi. Di sini adalah markas GAM pada masa konflik dan terdapat
pula kuburan pada masa penjajahan Belanda. Oh Tuhan, betapa aku tidak sabar
membuktikan cerita Makcie ini karena khayalanku langsung menangkap seperti apa
sejarah yang akan aku temui. Apalagi aku sudah beberapa kali membaca cerita
tentang GAM dan melihat fhoto-fhoto pembantaian di atas bukit dari berbagai
majalah. Sekarang, aku akan melihatnya sendiri. Dug dug, jantungku memintaku
cepat menemukan yang kucari. Tibalah kami diperempat langkah menuju puncak. Kami
bertemu dengan rumah panggung biru berlantai dua yang terbuat dari kayu. Kata
Makcie, ini adalah bukti damai antara pemerintah RI dan GAM. Biaya yang
dikeluarkan pun sangat banyak dalam pembangunan rumah tersebut. Aku
mengabadikan tempat itu dalam beberapa fhoto. Berhubung peninggalan ini adalah
bukti damai, tentu saja kita tak merasakan aroma pemberontakan. Hmm tak apalah,
sekurang-kurangnya aku menemukan hal baru.
Kami
pun melanjutkan perjalanan. Tak lama kami sampai di kuburan yang Makcie
ceritakan. Kuburan itu terlihat tak begitu tua, mungkin dirawat dengan baik
oleh penduduk sekitar. Ia persegi panjang berpagar bebatuan di sekeliling makam.
Plus dipagari kayu hingga batas atapnya. Makcie dan Aga bilang jika kita bermaksud
tidak baik ke gunung ini, arwah dari dalam kuburan ini tak segan-segan memasuki
kita. Maksudnya kita bisa “temamong” bahasa Aceh dari kerasukan. Kami ber o o
panjang usai Makcie cerita. Kau tahu, temamong bagiku sudah bukan barang baru
lagi. Aku terbiasa dengan kata-kata itu karena di sekolah seringkali terjadi temamong
berjamaah. Pernah dulu mencapai 20 orang, hiyy. Indikasi temamong tak hanya
pingsang terus mengigau-igau layaknya kesurupan biasa. Tetapi bisa saja berlari
secepat kilat ke jalan raya, membuat panik orang sekecamatan. Beberapa guru dan
siswa berusaha mengejar, tapi sang temamonger
berlagak layaknya Suryo Agung Wibowo saat Sea Games. Dan satu lagi yang paling
aku ingat pada tanggal 24 Desember tahun lalu. Waktu ini ternyata dijadikan
momen bagi korban tsunami untuk mencari sanak saudara mereka yang hilang kala
tsunami Aceh 7 tahun silam. Satu siswa tumbang, pingsan kemudian berteriak-teriak
mencari anak. Kemudian tumbang satu lagi, kini mencari emak, dan begitu
seterusnya. Aku tak tahu harus bagaimana, mau menolong, satu tebas dari seorang
temamong saja aku akan terjungkal. Alhasil aku hanya kuasa melihat sambil menjerit
“keluarlah kau setan, keluarlah” cukup di dalam hati saja. Hehe.
Kembali
tentang aku yang sedang mendaki gunung. Rasanya sudah 10 KM perjalanan tinggi menukik
yang kujalani. Sudah sangat tinggi berarti karena dari sana kami melihat Kecamatan
Meukek sebesar semut yang tertata dengan super imut. Seperti lukisan dominan
biru dengan sedikit bercak-bercak putih. “Ini jamboku, Bu” ujar Makcie dari
belakang. Sebenarnya aku ingin menjawab “Apa? Sejauh ini? Lantas. . .oh….eh”
tak tahu kata yang tepat untuk mengisi oh eh tersebut makanya aku memilih diam.
Kami istirahat di huma jambo (kebun) Makcie beberapa saat. Kemudian lanjut mendaki
lagi sedikit ke atas karena di sana terdapat mushala dan aliran mata air yang sudah
dirancang sedemikian rupa agar kita bisa berwudhu. Segar segar segar. Oh, Ihsan
dimana ya? Ihsan tak kutemukan beberapa lama. Kata Makcie, ia sedang mengambil
pala di kebunnya. Cerita Makcie, rata-rata anak-anak di sini sepulang sekolah
akan pergi ke jambo mereka yang jaraknya berkilo-kilo ini. Dan malamnya pergi
mengaji ke pesantren. Wow, pantas saja siangnya mereka di sekolah bawaannya mau
tidur semua. Sedang aku saja, direncanakan sehabis perjalanan ini akan
istirahat lama untuk memulihkan pegal-pegalku di sekujur badan.
Mendengar
cerita Makcie, tiba-tiba saja kepalaku terbelah menjadi dua. Ada sebuah sisi
dari anak-anak ini yang tidak kuketahui. Tapi apa yang telah kulakukan sejauh
ini? Guru merupakan profesi yang lahir dari panggilan hati. Tujuan utamaku
akhirnya memilih profesi ini karena aku merasa bahagia jika telah berhasil mendidik
dengan sepenuh hati. Guru sama dengan hati. Hati tempat bermuaranya cinta,
kasih, ketulusan dan pengabdian. Sedang kini, aku masih sibuk mengutuki yang
tak pasti. Jangan-jangan aku sudah salah memilih jalan hidupku seperti ini. Ah,
kepalaku enggan menyatu, yang satu menyoraki berlari sedang yang satu meminta
untuk berhenti. Sementara itu, di penghujung pendakian kumendengar Tuhan menyapa.
“Sudah lama tak mendaki, makhluk kecil?”
Meukek, 18 Maret 2012
Komentar
Posting Komentar