Surat untuk Kekasih
Teruntuk
lelaki yang kukagumi hingga detik ini. . .
Apa
kabarmu sekarang? Kuharap kau dalam keadaan sehat walafiat. Begitupun aku di
sini, sangat baik walau beberapa hari terakhir kerongkonganku sangat gatal dan
suaraku parau. Setiap aku berbicara dan menelan ludah, kerongkonganku gatal dan
panas. Aku sudah akan mau meminum berbagai jenis obat yang diwanti-wanti Mama
di tiap jadwal menelponnya. “Akan” karena dimanapun berada rasa obat tak jauh
beda. Alhasil, setiap aku menerima telpon dari berbagai kalangan seperti teman,
om, tante, kakak, adik semuanya pasti bertanya, “Kamu sakit?” Nanti, aku akan
menjawab suaraku sedikit berubah karena jam mengajar yang padat. Setiap
mengajar, aku akan bersuara yang lantang. Khusus les sore untuk anak kelas 3 volume
suaraku akan naik beberapa oktaf karena aku akan marah. Kalau aku marah, aku
akan berteriak-teriak dan suaraku akan hilang entah kemana. Barulah malamnya
aku akan terbatuk-batuk, dan menyadari ketololanku. Marah hanya berakhir dengan
sakit.
Aku
berharap kamu bisa belajar dari pengalamanku (hehe). Bulan ini kamu akan wisuda
bukan? Kalau kamu nantinya jadi guru, jangan tiru perangaiku itu, agar suaramu
tetap seperti suara yang kukenal walau tak pernah lagi kudengar. Biasanya
jikalau hatiku gundah, aku akan mengingat-ingat betapa merdunya suaramu kala
mengaji. Kamu senang melantunkan nada tinggi sambil menutup telinga kananmu
dengan tangan kanan. Kamu suka memilih duduk di depan dekat guru sedangkan aku
tiga baris di belakangmu sebelah kanan. Hehe, tiga baris di belakangmu aku
duduk, karena aku selalu mati gaya bila sudah di dekatmu. Kamu tahu, waktu itu,
aku kecil diam-diam menunggumu di belakang lorong mesjid tempat kamu biasanya
meletakkan sandal. Agar teman-teman tidak curiga, aku berpura-pura meletakkan
sandal dan tiba-tiba sandal itu putus. Aku akan berlama-lama di dalam lorong
itu sambil mengintip-intip apakah kamu telah datang atau belum. Dan entah
bagaimana, tiba-tiba kau telah di sampingku, bersiap meletakkan sandal. Aku
kelabakan, frustasi karena grogi berlebihan. Aku pun berlari masuk dan
merengek-rengek pada buku harianku. Mulai menulis, “Siapa orang yang paling
memalukan se-dunia? Santi Syafiana lah orangnya,” tulisku dengan muka merah dan
jantung gegap gempita.
Kala
mengaji, kamu senang menggunakan kopiah haji putih bulat, baju koko putih dan
celana dasar hitam. Kamu pulang selalu berombongan sambil tertawa
jingkrak-jingkrak kegirangan. Kendati sedang ngakak, suaramu tetap merdu di
telingaku (hehehe, gombal). Betapa manisnya kamu 15 tahun yang lalu hingga kini
tentunya. Aduh sebentar, 15 tahun? Aku baru sadar, betapa lamanya aku bertahan
dengan rasaku padamu. Entah bagaimana denganmu. Aku tak kuasa menghubungimu
walau sekedar bertanya kabar karena aku tak nyaman apabila kau mengetahui namamulah
yang selalu tersimpan utuh di dalam hatiku. Aku akan susah payah menanggung
grogi. Itu jauh lebih buruk dari marah kejang kepada siswa kelas 3 karena
dijadikan objek foto mereka kala mengajar. Dan jauh lebih buruk dari keluar
kelas dengan muka masam, berjalan cepat ke ruang guru, membuang muka ke setiap
orang yang berjumpa, meremukkan map absen dan membuangnya ke tong sampah.
Ops,
sepertinya aku telah jauh keluar jalur akan inti dari suratku ini untukmu. Izinkan
aku bertanya sesuatu, adakah yang salah denganmu kemaren? Aku terkejut melihat
postinganmu di timeline facebookku.
Apa yang sedang kau pikirkan? Apa kau masih beranggapan bahwa aku ada? Aku
tidak seremuk status facebookku kok. Itu hanya emosiku sesaat. Aku ingat
perkataanmu kala kita berjalan di pinggang sebuah gunung tentang masa depan.
Kau bilang, cita-cita itu selalu berkembang. Sama dengan kesuksesan. Beranak
pinak terus sampai kita tak punya zona aman lagi. Kala satu zona bahaya kau
taklukkan, kau akan mencari zona bahaya baru yang ingin kau amankan. Walau kau
akan melupakan zona lama yang telah kau langkahi. Maaf telah membuatmu
mengerahkan sedikit energi untuk memikirkanku. Kau tahu kenapa? Karena
akhir-akhir ini membayangkanmu yang sudah merupakan rutinitasku sehari-hari
mulai terasa asing. Entah mengapa garis-garis wajahmu mulai buram di kepalaku.
Begitupun dengan suaramu, nyaris tak berbentuk lagi di telingaku. Aku mencoba
mengingatmu lagi. Semakin kucoba, rupamu berubah seperti kertas putih
bergaris-garis tipis. Tapi entah mengapa, kepalaku terasa lebih ringan, lebih-lebih
hatiku. Jika mulai detik ini aku berhenti mendoakanmu, itu bukanlah pertanda
bahwa aku memutuskan berhenti mencintaimu tetapi pertanda bahwa aku istirahat
dulu dari kelelahan menunggumu. Entah istirahat sejenak, entah selamanya.
Meukek, 16 Maret
ehm,
BalasHapus