Cinta Sama Dengan Nol (9)

 Tiba di Aceh

Penulis : Santi Syafiana, S.Pd

Gara-gara mobil mogok, rombongan Asty sampai di Tapaktuan sudah tengah malam. Harusnya mereka mengikuti acara pertemuan dengan Bupati, Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah di Rumoh Agam. Pihak pemerintah daerah sudah menyiapkan acara penyambutan untuk mereka. Di sana harusnya mereka dijemput oleh kepala sekolah masing-masing.

Karena sudah tengah malam, tentu saja tidak ada lagi orang di kantor dinas apalagi Rumoh Agam. Hanya saja di jendela depan kantor sudah tertera nama mereka berikut lokasi penempatan masing-masing. Tak lama, seorang pria paruh baya datang dengan mobil plat merah menghampiri mereka. Mata pria itu merah. Seperti orang baru bangun tidur.

“Bagaimana perjalanannya Bapak Ibu Guru? Pasti lelah sekali. Apa sudah makan di jalan? Saya Saiful, salah seorang pegawai dinas pendidikan. Dekat rumah dari sini. Kami sudah menunggu sejak tadi tapi rombongan ini belum datang juga. Maaf jika penyambutannya jadi alakadarnya saja.” Pria itu menyambut kedatangan mereka dengan ramah dan sopan.

“Kami yang harusnya minta maaf Pak, mengganggu tidur Bapak,” kata Doni. “Oh tidak, ini sudah tugas saya. Bagi kami tamu adalah sesuatu yang sangat berharga, apa Bapak Ibu sudah makan?”

“Sudah Pak tadi kami makan di rumah makan Padang, ternyata di sini banyak rumah makan Padang ya Pak?”

“Haha, tentu saja Pak. Orang Padang kan bertabur dimana-mana apalagi rumah makannya. Di belahan dunia manapun bisa kita temukan.” Pak Saiful tertawa lebar, kumisnya ikut mengembang. “Oh ya, malam ini menginap di hotel dekat sini saja. Besok kepala sekolah masing-masing akan menjemput ke sana.”

Mereka bergegas menuju hotel. Pak Saiful menjadi penunjuk jalan. Tidak sampai lima menit berkendara mereka sudah sampai di hotel yang dimaksudkan. Hotel itu terletak persis di bibir pantai. Deburan ombak terdengar keras. Angin dari arah pantai menghempas-hempas.

Pak Saiful mengantar mereka sampai ke meja resepsionis. Mengurus segala sesuatunya. Hingga mereka diarahkan ke kamar masing-masing. Barang-barang dititip di resepsionis saja. Yang dibawa masuk ke kamar hanyalah barang berharga, pakaian seperlunya dan perlengkapan lain yang dirasa perlu.

Mereka menuju kamar-kamar yang sudah ditempatkan. Karena jumlah perempuannya ganjil, Asty kebagian satu kamar sendiri. Sedangkan yang lain satu kamar berdua.

Sebelum masuk kamar, Asty menyempatkan diri memandang ke arah laut. Walau deburnya kencang namun ujungnya hanyalah gelap yang pekat. Sinar terang dari lampu hotel hanya menerangi pasir di tepian pantai.

Asty termangu menghadap pantai di depan kamarnya. Tiba-tiba ia tertawa sendiri. Boro-boro gak ada listrik, sinyal dan air, hotel keren begini aja ada. Supermarket banyak. Dia bisa memakan lusinan es krim sehari kalau sanggup. Jalan yang dilalui sudah aspal, mulus dan lebar. Tak seperti jalan di kampung Asty yang sempit dan banyak lubang.

Sudahlah. Asty segera masuk kamar hotel. Terlihat dua springbed, lemari, TV dan AC. Wow Ada AC juga. Batinnya. Asty menggosok giginya terlebih dahulu. Membersihkan badan kemudian merebahkan dirinya di tempat tidur empuk itu.

Pengalaman yang akan jauh lebih tua dari total umur kita berdua. Satu detik berarti satu pengalaman dan berapa hasil perkalian pengalaman yang kupunya jika dikali detik-detik dalam setahun. Percakapannya dengan Nina tempo lalu terngiang-ngiang di ruang memori. Ingin rasanya dia ke pantai demi meneriakkan “masa lalu. . .menjauhlah!” Untunglah penat yang serasa mematahkan tulang-tulang di sekujur tubuh itu menghentikan adegan lebay capcay semacam itu. Dia langsung tertidur begitu saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online