Cinta Sama Dengan Nol (14)

 Wali Kelas

Penulis : Santi Syafiana, S.Pd

Asty masuk ke kantor setelah jam pelajarannya di kelas X berakhir. Di kantor, ada Pak Saleh dan Pak Rahmat yang sedang memeriksa hasil ulangan harian siswa.

“Bagaimana hari pertama mengajarnya Bu Asty,” Pak Saleh menyapa dengan ramah.

“Alhamdulillah lancar Pak. Oh ya Pak, guru Bahasa Inggris sebelum saya datang siapa Pak ya?”

Gak ada Bu, anak-anak tidak belajar Bahasa Inggris sebelum Ibu datang,”

“Oh ya Pak, lanjut terus Pak kegiatannya,”

Di kantor tidak nampak Bu Rani. Berarti ia masih di dalam kelas. Asty sudah berkenalan dengan semua guru di sekolah tadi pagi. Perkenalan singkat karena memang personil sekolah sangat sedikit. Tidak ada ruangan kepala sekolah maupun wakil. Karena semua guru yang ada juga menjabat sebagai wakil kepala sekolah. Ruangan kantor memang selalu lengang dan sepi. Apalagi Pak Bahar hari ini tidak di sekolah karena harus mengikuti rapat dengan kepala dinas di kota.

Asty menyusun buku-bukunya di atas meja. Dia membawa semua buku ajarnya dari Padang. Tetapi hanya Kimia. Dia baru tahu tadi pagi bahwa ia merangkap guru Bahasa Inggris juga. Asty lanjut menyusun buku populer seperti novel, kumpulan puisi dan cerpen serta buku motivasi koleksinya yang bahkan jumlahnya lebih banyak dari buku pelajaran. Ia menatanya sedemikian rupa agar tatanannya membuat enak dipandang dan menggoda untuk dibaca.

“Wah bukunya banyak Bu ya?” Kini giliran Pak Rahmat yang menyapa Asty.

“Oh, gak juga Pak. Saya aja gak punya buku paket Bahasa Inggris. Perpustakaan di sini letaknya dimana ya Pak?”

“Perpustakaan sekolah maksud Ibu?”

“Iya Pak.”

“Tidak ada Bu, makanya saya bilang buku Ibu banyak. Sangat banyak berarti untuk ukuran ketiadaan pustaka dan buku di sekolah kita.”

“Waduh, jadi sumber anak belajar semuanya dari guru?”

“Iya Bu, kalau buku untuk guru kita bisa usahakan dengan membelinya ke kota Bu. Tapi kalau anak-anak, kita bisa buat bahan ajar sendiri seperti modul atau LKS. Printer dan kertas siap sedia Bu.”

“Gitu ya Pak. Kalau buku-buku non akademik seperti novel, puisi, motivasi seperti yang saya punya ini, anak-anak bisa dapatkan di mana Pak ya?”

“Setahu saya anak-anak tidak membaca buku jenis seperti itu Bu, wong membaca soal ulangan dari guru saja sudah keajaiban,”

“Hah, segitunya Pak, tapi kan ini seru Pak. Pasti mereka suka.”

“Mungkin karena belum tahu Bu. Coba Ibu perkenalkan saja. Budaya membaca di sini masih rendah Bu. Udah kalah oleh sinetron dan internet.”

“Oh tentu saja Pak. Kalau tahu begitu harusnya saya bawa buku lebih banyak. Membaca buku walau fiksi sekalipun itu sangat perlu lo Pak. Untuk menambah wawasan dan motivasi hidup. Mengenal kehidupan di luar tempurung kita selama ini.”

“Haha, iya Bu. Semangat Bu!”

Asty kembali fokus menata bukunya. Duh bayi-bayiku, sepertinya kalian harus aku pergilirkan dari tangan ke tangan. Asty memandangi mereka dengan wajah keibuan.

Dia ingat pernah berkelakar dengan Doni dan Asty tentang hakikat buku koleksi yang mereka panggil dengan sebutan bayi. Ketiganya memiliki pengalaman traumatis yang sama terhadap tiga tipe manusia. Pertama, orang yang meminjam buku tetapi tidak dikembalikan. Kedua peminjam buku yang suka melipat buku pada batas-batas bacaannya setiap kali membaca. Ketiga peminjam yang menggaris bawahi buku pada kalimat yang cantik dan menginspirasi. Padahal mereka menjaga buku-buku itu dengan segenap kasih sayang. Layaknya seorang ibu kepada anak- anaknya. Namun walau begitu, setiap ada yang meminjam buku, mereka juga tak tega menolaknya. Alhasil banyak buku yang hilang dan kembali dengan keadaan yang tidak menyenangkan.

Namun melihat anak-anak di kelas tadi, tumbuh keinginan besar dalam dirinya untuk memberikan buku-buku itu kepada mereka. Sebuah perasaan tulus yang tidak pernah terfikir oleh Asty akan mampu melakukan itu karena sudah menyangkut nyawa bayi-bayinya. Perasaan yang ringan tanpa beban. Mereka harus segera beralih tangan tekadnya.

“Bu Asty, Bu!” Bu Rani ternyata sudah berdiri dari tadi di samping Asty.

“Oh maaf Bu, saya tidak tahu Ibu sudah ada di sini, ada apa Bu ya?”

“Gini Bu, Ibu mau tidak jadi wali kelas X. Saya tidak bisa lagi. Saya sudah bicarakan sama kepala sekolah dan kepala sekolah menyetujui.”

“Lo, Ibu kenapa tidak bisa lagi Bu?”

“Masalah kesehatan. Lagian sekarang Bu ya, yang muda yang berkarya Bu. Kayak di iklan iklan gitu. ”

“Duh, apa gak apa-apa Bu saya jadi wali kelas. Apa sudah pantas Bu? Ini pengalaman pertama saya jadi guru lo Bu,”

“Karena itulah, Ibu bisa nambah pengalaman. Ibu mau kan?”

“Oke kalau begitu Bu. Kepala sekolah sudah tahu bukan?”

“Sudah Bu, makasih Bu ya,” Bu Rani berlalu sambil tertawa renyah. Asty kembali sibuk dengan bayi-bayinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online