Cinta Sama Dengan Nol (22)

 Tiba di Kampung

Penulis : Santi Syafiana, S.Pd

“Tuuuu….t tuu…t,” bunyi klakson memekakkan telinga. Suaranya berasal dari mobil-mobil yang tak sabar dengan kemacetan lalu lintas yang ada. Seolah-olah dengan membunyikannya berulang-ulang, mobil-mobil lain segera lenyap. Jalanan akan langsung sepi. Padahal tidak. Malah menimbulkan kegaduhan yang merepotkan.

            Entah lampu merah. Entah jalan rusak atau mobil mogok. Tak jelas apa penyebab kemacetan siang itu. Sudah lebih satu jam mobil yang Asty dan teman-temannya tumpangi tak bergerak sama sekali. Bau keringat bercampur asap rokok supir menyeruak menembus hidung. Ditambah gerah dan lelah bersatu padu menguji ketabahan Asty. Namun mengingat ayah, ibu dan Rini adiknya, rona wajah Asty menjadi cerah kembali. Sudah setahun ia tidak bertemu dengan mereka. Kerinduan yang setiap hari ia rasakan, selama ini hanya ditumpahkan lewat panggilan telpon saja. Asty tetap tenang duduk berdesakan dengan penumpang lainnya. Wajah keluarganya sudah membayang di pelupuk mata.

            “Ah…kapan sampainya ini?” Roma yang duduk di samping Asty berulang-ulang kali mengeluh. Begitupun dengan temannya yang lain. “Minggir, minggir. Tepi..tepi..” Tak lama terlihat beberapa orang tentara berjalan ke depan sambil meminta orang-orang merapikan kendaraannya. Mereka terus berjalan jauh ke depan hingga hilang dari pandangan. Beberapa menit setelah itu barulah kemacetan terurai dan mobil bisa melaju.

            Rupanya lumpuhnya lalu lintas ini terjadi karena ikan larangan di sepanjang sungai yang mengalir di pinggir jalan yang Asty lewati. Masyarakat berbondong-bondong menangkap ikan larangan yang diizinkan penangkapannya setiap satu kali dalam lima tahun. Yang membuat macet adalah kendaraan mereka yang diparkirkan sembarangan. Rombongan tentara tadi juga korban kemacetan yang terjadi. Katanya, mereka harus berjalan jauh sekali untuk dapat memperbaiki alur lalu lintas yang terhenti.

            Mobil Asty sudah berjalan lagi dengan kecepatan normal. Malam merambat naik. Udara dingin mulai menyelimuti tubuh. Tidak terasa sudah dua hari satu malam Ia dalam perjalanan. Kampung Asty masih jauh. Ia mencoba tidur namun asap rokok supir membuatnya lemas.

            Akhirnya lewat tengah malam barulah Asty sampai di rumah. Asty disambut suara kokok ayam dan nyanyian jangkrik. Sampai di rumah, belum mengucap salam, Pak Ali, ayah Asty sudah menyembul dari balik pintu. Matanya terlihat merah karena menahan kantuk. Asty menyalami ayahnya takzim lalu pergi ke kamar mandi membersihkan diri. Ibunya dan Rini sedang tidur. Pak Ali membuatkan Asty teh hangat dan menyuruhnya makan. Nasi dan lauknya sudah terhidang di meja saji. Asty makan dengan lahap. Pak Ali memandanginya sambil tersenyum. Banyak hal yang ingin ayah dengar dari Asty. Begitupun dengan Asty. Banyak yang ingin ia ceritakan. Namun, tubuhnya begitu lelah. Matanya mengantuk. Asty tertidur dengan banyak kisah di kepalanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online