Cinta Sama Dengan Nol (24)
Teka-Teki
Bu Gusti memandang
kedua anaknya sambil tersenyum. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Anak
gadisnya sudah dewasa. Asty tampak makin cerah dan riang sepulang dari Aceh. Jauh
beda sebelum keberangkatannya dulu. Ia terlihat murung dan tak bergairah. Bu
Gusti senang Asty bisa berproses dan bahagia dengan pilihan hidupnya.
Tak berapa lama, mentari muncul perlahan.
Sinar keperakannya tercurah ke bumi. Menghangatkan alam yang didera dingin semalaman.
Melenyapkan kabut dan menggantinya dengan tumpahan cahaya. Jalanan remang mulai
benderang. Pak Ali mengajak Bu Gusti, Asty, dan Rini merebahkan tubuh di puncak bukit itu. “Rentangkan tangan kalian. Vitamin D yang bersumber dari matahari pagi
sangat bagus untuk tubuh,” ucap Pak Ali. Mereka melakukan apa yang diperintahkan. Rini menggerak-gerakkan
kaki dan tangannya dalam rebahan.
“Oh ya, ayah punya teka-teki.
Kita lihat siapa di antara kalian yang bisa menjawabnya.” Ujar ayah sambil melihat langit. Spontan Bu Gusti, Asty dan Rini menoleh ke arah Pak Ali penasaran.
“Benda apakah yang jika ditutup sebesar ibu
jari dan saat dibuka sebesar dunia?” Asty dan Rini saling
berpandangan. Mereka berfikir sejenak lalu
menggeleng serentak. Tanda tak mampu menjawab. Melihat itu Pak Ali meminta mereka untuk
jangan cepat menyerah. “Kalian memiliki benda itu. Bahkan melekat pada diri
kalian.” Pak Ali memberi petunjuk.
Berharap salah satu dari mereka dapat
menjawab teka-teki tersebut.
Asty
berfikir lagi. Mematut-matut ibu jarinya ke
beberapa bagian tubuh. Manakah bagian yang seukuran dengan jempol tersebut.
Sementara itu, Rini memandangi kakaknya
heran. “Ah…aku tahu Yah!” sontak Asty mengacungkan tangan ke arah langit. Sambil menyeringai
senang, Asty berteriak “Mata Yah! Benar bukan?” Pak Ali tersenyum. “Bagus. Kau benar Asty.
Coba jelaskan jawabanmu!” Dengan mata berbinar Asty mengemukakan alasannya. “Mata itu kecil saja jika kita tutup
seperti ini,” Asty memejamkan mata lalu
menempelkan ibu jari ke atasnya. “Nah coba kita buka seperti ini.” Asty membuka mata lalu mengedarkan pandangan ke segala penjuru.
“Lihatlah, aku bisa melihat gunung, hamparan sawah, lapangan berumput, deretan
pepohonan, arakan awan dan langit luas terbentang.”
Pak Ali tersenyum lagi. “Kau anak yang
cerdas Asty. Kita harus bersyukur
telah dikaruniai Tuhan sepasang mata. Jika tidak, gelaplah dunia. Namun tak
cukup dengan dua bola mata itu saja kau melihat semesta dan kehidupan yang
dinaunginya. Iringilah dengan pikiran terbuka. Hati yang bersih dan penuh kasih
agar kerja matamu lebih sempurna. Melihatlah yang luas, jangan dibatasi. Kelak
itulah yang akan menuntunmu kepada tujuan hidup yang hakiki.” Nasehat Pak Ali yang disertai anggukan ragu-ragu Rini.
“Apa tujuan kita hidup di dunia ini Asty?” Rini masih belum paham, tapi ayah tetap melanjutkan wejangannya. “Beribadah kepadaNya Nak.
Manusia makan, hewan juga makan. Sama-sama makan, sama-sama kenyang namun beda
tujuannya. Kita mengawalinya dengan doa, hewan tidak. Sehingga aktivitas makan
kita bernilai ibadah. Peroleh keberkahan. Dari berkah itu, rasa bahagia akan
meresapi hatimu.”
Wejangan Pak Ali membuat hati Asty damai. “Walaupun kalian perempuan, tidak
masalah memiliki hobi mendaki gunung
itu. Kelak, kelilingi juga lah dunia ini. Kunjungilah belahan lain di bumi ini
yang memiliki hamparan bentuk berbeda. Rasakanlah negara empat musim. Padang
pasir. Lautan salju. Pita-pita cahaya aurora dan keanekaragaman budaya di
semesta ini.”
“Apa aku bisa Yah?” Asty bertanya ragu.
“Ya bisa lah Asty. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Yang ada hanyalah mereka yang tak mau mencoba. Yang menciptakan Asty dan Rini adalah Allah yang maha segalanya. Tak mungkin Dia menciptakan makhluk tak berdaya dengan kebesaran yang Dia miliki itu. Bermimpilah yang besar. Karena Allah maha besar.”
Asty mengamini kata-kata ayahnya dalam hati. Setelah bertemu siswa-siswanya, keinginan untuk bertualang menjadi sangat Asty minati. Ditambah lagi nasehat ayah tentang perjalanan mengitari bumi. Membuat gelora semangat kian membuncah dari dalam dada Asty.
Komentar
Posting Komentar