Cinta Sama Dengan Nol (21)

 Cinta Sama Dengan Nol

Penulis : Santi Syafiana, S.Pd

Berpisah berpisahlah, tapi tidak hari ini. Asty memulai pidato perpisahannya dengan quote tersebut. Aura kesedihan dan kehilangan meliputi wajah guru dan siswa di ruangan tersebut. Sesekali Asty berhenti di beberapa bagian pidatonya. Ia seolah sedang mengumpulkan kesiapan yang tersisa dari dirinya untuk menyambut perpisahan.

Beberapa anak menangis sesegukan. Asty menyemangati mereka bahwa berpisah bukan berarti tidak akan berjumpa selamanya. “Ayo bertemu kembali ketika kalian sukses,” pinta Asty yang disambut anggukan dari para siswa. “Ibu memang tidak mengajar di sini lagi namun ilmu yang pernah ibu berikan harap terus diaplikasikan demi impian yang pernah kita tulis bersama-sama dulu,”  tambah Asty. Semuanya mengangguk-angguk lagi.

Setelah acara perpisahan selesai, Asty dibawa anak-anak ke ruang belajar. Setiba di kelas mereka langsung membentuk barisan yang rapi. Miza dan Adit memetik senar gitar serentak. Alunan musik country pop memasuki indra pendengaran. Semua anak menyanyikan lagu the climb dengan suara padu sesuai irama dan temponya. Pengucapan Bahasa Inggrisnya pun sudah fasih dan benar. Mereka bernyanyi dengan penuh penghayatan. Lebih bagus dari penyanyi aslinya. Puji Asty kepada mereka.

Asty hanyut dalam melodi yang menghentak. Ia mengusap bola-bola kristal yang menyusup melalui dua sudut matanya. Dadanya bergemuruh.

Usai bernyanyi, anak perempuan memeluknya erat. Sedangkan anak laki-laki menyalaminya takzim. Beberapa anak memberikannya kado dan surat. Berharap Asty tidak akan melupakan mereka. Suasana begitu mengharu biru.

Lain di sekolah, lain lagi di rumah. Di hari kepulangan Asty, rumah Fia ramai dikunjungi sanak saudara Pak Bahar dan Bu Juli. Juga, tetangga dan bocah-bocah cilik teman Asty asmara subuh. Mereka mengucapkan selamat jalan dan memberikan kenang-kenangan. Bu Juli dan Fia memintanya untuk tidak pergi. Mereka memeluk Asty erat sekali. Berat rasanya berpisah. Begitupun dengan Asty.

Dalam perjalanan pulang, ia memandang patung naga, pantai dan pohon pala yang ia temui di jalan Aceh Selatan lekat-lekat. Ia tidak menyangka ada cinta sebesar dan setulus ini yang mengaliri darahnya. Cinta kepada negerinya yang elok. Cinta kepada generasi bangsa yang akan memajukan negeri dengan potensi mereka masing-masing.

Patung naga di kota Tapaktuan Sumber gambar : dokumentasi pribadi

Tiba-tiba ia ingat dengan awal mula kedatangannya ke sini. Ia hanya datang membawa hati yang patah. Namun lihatlah sekarang. Ia pulang dengan hati penuh cinta. Rasa yang memercikkan kebahagiaan atas kebermanfaatannya terhadap nusa dan bangsa.

 


Panorama alam Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan Sumber gambar : dokumentasi pribadi


Mengingat-ingat masa lalu, Asty jadi malu sendiri. Kala itu ia meyakini jika diibaratkan angka, berarti cinta sama dengan nol. Dikalikan dengan angka berapa saja ataupun ditumpuk seberapa banyak, tetap sama dengan nol. Namun perjalanan hidupnya di Aceh Selatan mengajarkan bahwa nol adalah awal bagi segala kemungkinan. Tak mungkin bisa meraih apapun kalau tak berangkat dari nol. Seperti cinta mereka saat ini berawal dari ketiadaan lalu bertambah dan bertambah setiap harinya.


Kini Asty siap mengejar impiannya kembali. Ia juga siap bertemu Nina dan Doni sembari berteriak I will start from zero with you. Starting from love exactly.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online