Cinta Sama Dengan Nol (25)
Bulan Bintang
Langit masih biru di kala bulan
berbentuk sabit muncul di antara arakan awan. Ia menampakkan rupanya dalam
putih pucat. Seolah tak sabar berganti peran dengan matahari. Menyinari pekat
malam lewat temaram cahayanya.
Asty
memandangi benda langit yang tampak kecil dari
pintu rumah tempatnya berdiri saat
ini. Lihatlah, bulan itu tak bercahaya. Ia hanya memantulkan sinar matahari.
Dahulu orang percaya bulan memiliki cahaya sendiri. Namun seiring perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, terkuaklah kebenaran bahwa sinar bulan berasal
dari matahari. Wah, canggih sekali Iptek ini. Bulan yang jauh dan tinggi di
atas sana sudah pernah dijangkau manusia. Neils Amstrong nama astronot itu. Ia
menjadi orang pertama yang melangkahkan kaki di bulan. Betapa kerennya ia.
Betapa luar biasanya orang-orang di sekelilingnya
yang ikut menyokong tercapainya pendaratan di bulan tersebut.
Tak lama, azan maghrib menggema. Jingga
perak keemasan menguasai langit. Sebuah lukisan alam maha indah ciptaan sang
pemilik alam semesta. Asty pun segera shalat dan mengaji seperti biasanya.
Setelah itu, Asty berjalan-jalan
di halaman rumahnya. Kini, bulan
dan bintang gemintang bertaburan di langit hitam. Malam telah memangsa sinar
kuning keemasan senja. Alunan suara jangkrik menyemarakkan gulita.
Asty menengadahkan
kepalanya. Matanya memandang hiasan langit, namun pikirannya mengenang masa
lalu. Saat ia berjalan kaki dengan Nina dan Doni di malam hari menuju warung
bakso Pak Lek dekat kosan mereka.
“Hei,
kenapa ya bulan dan
bintang-bintang itu berjalan mengikutiku terus. Apa karena aku cantik banget
ya? hahaha,” Nina terbahak sendiri dengan
pertanyaannya.
“Seolah-olah mengikutimu Nin, tampaknya aja begitu. Dasar Ge Er,” sahut Doni.
“Maksudnya Suhu?” Nina
mengerjap-ngerjapkan matanya seolah-olah tak
mengerti.
“Nin,
jarak bumi tempat kita tinggal ini tiga ratusan kilo meter lebih ke bulan.
Sangat jauh. Dengan jarak sejauh itu, sudut pandang matamu terhadap bulan akan
tetap sama. Sehingga saat kamu berjalan, bulan dan benda langit lainnya
seolah-olah mengikutimu.”
“Iya iya…serius banget sih jawabnya. Aku kan bercanda.” Seloroh Nina.
“Haha, padahal aku juga punya pertanyaan yang sama lo
Nin. Mengapa mereka selalu mengikutiku.” Asty ikut nimbrung
“Hoalah, ternyata
aku selama ini hidup di antara dua bocah lugu yang tak tahu apa-apa. Yo wis, gak usah dipikirkan sekarang. Besar nanti kalian akan mengerti sendiri. Makanya sekolah yang tinggi. Pelajari
ilmu pengetahuan itu dengan sungguh-sungguh. Kita bahkan bisa ke sana kalau mau.” Doni bicara menggurui yang disambut
tawa Asty dan Nina.
Mengingat
percakapan itu, membuat Asty tertawa lagi. Betapa seru dan gembiranya persahabatan
mereka. “Ahh, bagaimana kabar kalian di Leiden? Apa kalian sudah menikah?”
Komentar
Posting Komentar