Cinta Sama Dengan Nol (12)

 

Asmara Subuh

Penulis : Santi Syafiana, S.Pd

Azan subuh berkumandang dari pengeras suara masjid dekat rumah Pak Bahar. Waktu shalat subuh di Aceh lebih lambat 15 menit dari Padang. Asty segera mengambil wudhu. Pak Bahar dan Bu Juli sepertinya mengambil wudhu di kamar mandi yang berada di dalam kamar tidur mereka.

Asty membangunkan Fia yang masih terlelap sebelum dia mulai shalat. Fia menggeliat sedikit lalu tidur lagi. Asty membiarkannya. Ia shalat terlebih dahulu. Nanti dibangunkan lagi. Setelah shalat seperti biasa Asty membaca Al-Quran. Sejak kuliah, Asty memang sudah bertekad untuk menamatkan satu juz sehari. Strategi Asty mencapai target tersebut adalah membaca Al-Quran setiap selesai shalat sebanyak dua lembar.

Satu juz dalam Al-Quran biasanya terdiri dari 10 lembar. Sehingga satu juz itu bisa terselesaikan dalam lima waktu wajib shalat. Subuh hingga Isya. Namun terkadang dalam satu hari Asty bisa menyelesaikan lebih dari satu juz, jika ia  sempat membacanya setelah shalat dhuha dan tahajud. Apalagi targetnya tidak tercapai ketika perjalanan ke Aceh kemaren. Karena kepalanya pusing dan waktu istirahat sebentar, Ia jadi tidak sempat membaca Al-Quran sebanyak biasanya. Hal itu membuatnya menjadi sedih. Karena dia selalu menguatkan tekad agar frekuensi ibadahnya dari hari ke hari harus bertambah, setidaknya sama. Tidak boleh menurun atau mundur.

Usai membaca Al-Quran Asty mencoba membangunkan Fia lagi. Kali ini dia mengiming-imingi dengan asmara subuh. Walau dia tidak tahu apa maksudnya. Mendengar itu Fia membuka matanya. Mengucek-nguceknya dengan gerakan lambat. Lalu keluar menuju kamar mandi dengan langkah malas. Tak lama ia datang lagi. Membentangkan sajadah. Memakai mukenah lalu shalat. Gerakannya cepat-cepat. Asty tertawa melihatnya. Maklum anak SMP. Masih labil. Sudah mau shalat saja sudah sangat bagus. Banyak anak SMP bahkan SMA tidak mau shalat sama sekali.

“Sudah Kak, yuk siap-siap. Kita mau asmara subuh.” Untuk ini Fia baru semangat.

“Yang kakak persiapkan apa ya Fia?” Asty bingung.

“Pakai baju olahraga saja Kak, asmara subuh itu maraton pagi. Fia sudah ajak teman-teman yang lain. Paling mereka sudah menunggu di perempatan.”

“Maraton? Jalan-jalan pagi maksudnya? Istilahnya asmara subuh segala,” Asty tertawa.

“Haha iya Kak, kami menyebutnya asmara subuh.”

“Kok dinamakan asmara subuh Fia, ada legendanya juga gak kayak legenda Tapaktuan gitu,”

“Haha, mana ada Kak. kakak ini ada-ada saja. Cuman kata bapak, disebut asmara subuh karena kita mendapatkan nikmat dari alam setelah subuh. Gitu-gitu lah Kak. Lupa Fia lanjutnya. Yuk kak kita berangkat.”

“Siap!”

Mereka berangkat dengan terlebih dahulu minta izin kepada Pak Bahar dan Bu Juli. Udara masih segar, embun pagi terlihat menempel di dedaunan dan rerumputan yang mereka lalui. Perpindahan gelap menuju siang menampakkan rona biru keabu-abuan di langit pagi itu. Bulan purnama bulat sempurna masih tampak. Namun warnanya telah memutih. Jalanan belum dijajali kendaraan. Belum ada yang mengontaminasi lingkungan. Kokok ayam bersahut-sahutan. Rata-rata setiap rumah berternak ayam kampung. Fia juga. Kemaren Asty melihat kandang ayam kampung di belakang rumahnya dan ayam kampung yang wara wiri di sekitar kandang.

Asty menghela nafas panjang. Tangan dan pinggangnya digoyang- goyangkan sambil berjalan. Fia mengikuti gerakan Asty. Tubuh Asty terasa segar dan bugar. Melupakan kelelahan yang hebat karena perjalanan Padang-Aceh kemaren.

“Itu mereka Kak,” Fia menunjuk segerombolan anak-anak sepantarannya dan anak kecil-kecil di perempatan jalan. Melihat Fia, anak-anak tersebut berteriak memanggil.” Fia melambaikan tangannya. Asty juga ikut-ikutan melambai. Oh, jadi aku masuk rombongan anak-anak kecil ini ya? Asty tertawa geli.

“Ayo Fia kita bergegas ke sana,” Asty menarik tangan Fia. Mereka berlari menuju gerombolan bocah kecil itu.

Fia memperkenalkan Asty kepada teman-temannya. Mereka berebutan menjabat tangan Asty lalu menyentuhkan ke kening mereka. Khas anak kecil. Mereka ribut sekali. Dengan Bahasa Aceh tentunya. Fia tampak ikut kehebohan mereka. Sedang Asty hanya tertawa-tawa memperhatikan tingkah lucu mereka.

“Yuk kita berangkat,” Fia mengomandoi teman-temannya. “Kemana rutenya pagi ini Fia?” Asty penasaran.

“Setelah dibicarakan tadi Kak, pagi ini kita ke pantai, ayo semua!” “Ayo. . .” sahut para bocah semangat sekali.

Mereka membawa Asty memasuki gang kecil yang kiri kanannya adalah ladang penduduk. Ada yang menanam sayur, tomat, terung dan lain sebagainya. Tidak ada rumah dari beton. Yang ada hanyalah gubuk-gubuk kecil di tengah ladang tempat petani melepas penat kala bekerja. Burung-burung terbang di angkasa berkawan-kawan. Perbukitan berderet-deret di kiri kanan jalan.

Jauh-jauh berjalan. Terus ke dalam. Ladang penduduk sudah tidak ada lagi. Tampak pasir putih menghampar. Menandakan pantai semakin dekat. Dan benar saja pantai tempat ombak bermain kejar-kejaran menyambut kedatangan mereka. Semua bocah langsung menuju ke arah pantai dan menyeburkan diri. Asty kaget melihat ulah bocah-bocah itu. Dia tidak menyangka berenang di pantai adalah hal yang biasa dan mereka suka. Asty tidak bisa berenang. Tetapi Fia sudah terlanjur menarik tangannya. Mau tak mau Asty ikut dalam eufhoria asmara subuh yang diisi dengan acara berenang di pantai.

Anak-anak berenang agak jauh. Mereka jago karena sudah biasa. Sedang Asty hanya di tepian saja. Baru kali ini ia mandi di pantai. Pagi-pagi lagi. Di Padang ia tidak pernah melakukan hal itu. Ke pantai paling hanya sekedar jalan-jalan dan makan-makan bersama Nina dan Doni.

Tak lama kemudian hari sudah mulai terang. Matahari pelan-pelan muncul menyinari dunia. Memberi kehangatan kepada makhluk ciptaan-Nya. Asty mengajak anak-anak pulang. Takut kalau terlalu lama nanti orang tua merasa kehilangan. Satu persatu anak segera beranjak ke daratan. Memeras pakaian dan berjalan dengan santai menuju arah pulang. Dalam basah kuyup mereka pulang ke rumah masing-masing. Saling tertawa, bercanda seolah tak ada beban.


           Asty memperhatikan sekujur tubuhnya sambil tertawa. Sandal dan bawahannya ditempeli pasir pantai. Ia tak menyangka bisa melakukan hal seperti itu dalam hidupnya. Walau begitu ada rasa bahagia merembes ke dalam hatinya. Otaknya kembali menafsirkan kenapa olahraga ini disebut asmara subuh. Tak perlu susah payah mencari kebahagiaan. Menyatu dengan alam subuh saja bisa mendatangkan kebahagiaan, kesehatan dan kebugaran. Itulah yang disebut berkah alam. Layaknya asmara yang muncul dari cinta kasih pencipta-Nya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online