Cinta Sama Dengan Nol (7)

 Aku Akan Menikah

Penulis : Santi Syafiana, S.Pd

Asty tertegun menatap nanar ke arah jendela usai membaca salah satu pesan di media sosial. Antara bingung dan curiga, Asty mengawang-ngawang tak tentu arah. Pesannya sangat sederhana.

“Aku akan menikah.”

Pesan itu dikirimkan persis setelah Asty update status. Jelas sekali ia menunggu kepastian Asty online atau tidak karena Asty tidak suka menghidupkan chat-nya.

Asty hanya menatap pesan itu lama. Tidak tahu menanggapinya seperti apa. Sudah dua minggu sejak acara wisuda ia tidak bertemu dan berbagi kabar dengan Nina dan Doni. Sepulang acara wisuda, mereka pulang ke kampung masing-masing. Pendaftaran beasiswa dan pasca sarjana pun masih beberapa bulan lagi. Sambil menunggu pembukaan, mereka perlu mencari kerja dulu untuk mengisi waktu dan mengisi dompet. Kalau sudah sarjana, minta uang kepada orang tua tentunya malu.

Selama dua minggu itu Asty sengaja menghilang. Telpon ataupun pesan dari Nina dan Doni dibalas dalam jeda waktu sangat lama. Ia pura-pura sangat sibuk. Alhasil hanya sedikit yang Asty ketahui tentang mereka. Nina dan Doni kembali ke Padang menjadi guru les di salah satu bimbingan belajar terkenal di kota itu. Sedangkan Asty untuk beberapa saat ingin tetap di rumah membantu orang tuanya di toko. Kosnya di Padang masih aktif dalam dua bulan ke depan. Sehingga barang- barangnya belum ia bawa pulang.

Adapun tentang keberhasilan Doni mengutarakan isi hatinya ke Nina, Asty tidak tahu perkembangannya. Doni tidak pernah membahas itu lagi. Mungkin dia sadar tidak seharusnya membuat persahabatan mereka menjadi kikuk karena cinta yang tumbuh di hatinya. Mungkin seperti itu.

Asty memutuskan untuk membiarkan dulu pesan itu. Nanti saja dibalas. Malam sudah mulai larut. Asty malah asyik membaca-baca postingan di media sosial. Ada beberapa info lowongan kerja, iklan pakaian di toko online dan sebagainya. Kemudian matanya tertuju pada sebuah info pembukaan penerimaan guru ke pelosok-pelosok Indonesia. Masih ada waktu mendaftar dua minggu lagi. 

Syarat utamanya adalah sarjana pendidikan yang siap ditempatkan di mana saja. Kedua, memiliki daya ketahan malangan yang tinggi. Karena daerah yang akan dijajali adalah daerah tertinggal. Memiliki medan yang tidak mudah bahkan bisa jadi belum terjamah listrik dan sinyal ponsel.

“Aku akan menikah,”

Copypaste pesan sebelumnya. Oh Tuhan, aku harus menanggapinya dengan apa? Asty seolah tahu skenario apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa perkembangan mereka dalam dua minggu itu bisa sebegitu dahsyatnya? Menikah lo? Ini bukan main-main. Untuk makhluk seunyu-unyu kita? Apa itu tidak terlalu cepat?

Ah, tidak juga sih. Pacaran malah banyak mudharatnya. Ia bukan wahana melanggengkan cinta tapi malah merapuhkannya. Menikah usia muda bukanlah hal yang mencengangkan lagi. Itu malah jauh lebih baik dari pada menabur dosa dengan kedekatan-kedekatan yang melebihi batasnya. Cinta itu murni. Jika tidak terbendung, lamarlah. Itu akan menjaga kemurniannya. Asty jadi terbawa suasana. Hatinya mendadak jadi begitu melankolis. Pemahaman akan hal itu sebenarnya sudah lama menjadi bahan perbincangan mereka. Bahkan itu terasa melekat menjadi sebuah prinsip. Sehingga Asty tahu akan kemana jalan cerita cinta itu akan bergulir sejak Doni menghubunginya malam sebelum wisuda kala itu.

Kenapa?”

Eh mengapa kamu malah bertanya kenapa Asty? Tidakkah kau seharusnya mengatakan alhamdulillah, senangnya, cihuyyy, yeeee? Asty merasa pikirannya berjalan di luar relnya.

“Apakah kau siap menikah?”

Glek, Asty menelan ludah. Ia berfikir beberapa menit. Sebuah peluru siap diluncurkan.

“Menurutmu?”

Sepertinya ini akan menjadi dialog tanya yang panjang. Asty membatin.

“Kapan kau siap menikah?”

Dia bertanya lagi, Asty mulai jenuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak jelas muaranya. Asty pun menjawab dengan mantap.

“Aku tidak tahu. Sekarang kamu, kenapa kamu akan menikah. Bisakah kamu tunjukkan pembicaraan ini ke jalan yang lurus?”Asty begitu tak sabar.

Yap, aku akan menikah. Itulah jalan yang lurus. Tapi pikiranku merasa tak lurus.”

Ah Nina, mengapa kamu jadi berbelit-belit. Apa kau lupa bahwa kau adalah salah satu sosok yang membuatku iri setelah Doni. Dengan wajah cantikmu. Otak encermu. Ketegasanmu memilih apapun yang kamu inginkan. Memiliki prinsip dan idealisme yang tegas dalam mengarungi kehidupan. Rajin membaca dan menulis. Tidak mudah diintervensi dengan hal yang salah walau menguntungkan.

“Mengapa kamu merasa tak lurus? Bukannya kau ahli dalam urusan pilih memilih? Apalagi ini perkara jalan hidupmu? 

Hmm, sepertinya itu jawaban sekaligus pertanyaan yang paling bagus yang bisa kulontarkan. Maklum saja, jalan hidup siapa yang tahu. Setiap pilihan pasti ada resikonya.

“Menurutmu apa aku seahli itu?”

Hoalah, pertanyaan apa sih ini Nin? Asty jadi bingung sendiri. Dan tambah bingung dengan gaya chatting mereka yang begitu kaku dan aneh. Tidak seperti percakapan dua sahabat akrab, dekat dan lekat seperti sebelum-sebelumnya. Apa mungkin ia menjawab dengan shalat istikharah atau tahajud dahulu jikalau Nina sebegitu bingungnya. Aku harus jawab apa? Asty kebingungan.

“Tentu saja, kau sudah menunjukkan keahlianmu pada pesan yang pertama, kau cukup menunggu kalimat yang sama dariku,”

Tak sadar, pembicaraan mereka via dunia maya sudah memasuki sepertiga malam. Mata Asty masih lebar menyala. Ia tunggu balasan pesan dari perempuan bermata cokelat yang ternyata hanya satu kata.

“Kapan?”

Asty memilih untuk tidak lebih jauh melanjutkan chatting itu. Ia takut hatinya terluka lagi. Bisa-bisa Ia malah menghasut Nina untuk menolak lamaran Doni. Itu bukanlah sikap perempuan sejati. Merusak kebahagiaan sahabat sendiri adalah hal yang paling tidak keren dan tidak bisa diterima akal dan hati yang sehat. Asty memilih untuk menutup pembicaraan.

“Sudah malam. Aku tidur dulu, Good Night,”

Asty menutup laptopnya. Mematikan lampu. Menarik selimut dan mencoba menutup matanya. Memaksanya terlelap namun yang terasa hanyalah sesak dan sesak. Ah, patah hati itu kambuh lagi.

“Sepertinya aku perlu pergi ke tempat yang tidak ada sinyalnya!” Asty menggulung tubuh dan kepalanya dengan selimut menyerupai kepompong. Ingin melihat akan lebih sesak mana badannya atau hatinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online