Cinta Sama Dengan Nol (3)

 Impian Laskar Propana

Penulis : Santi Syafiana, S.Pd

Asty bergegas menuju perpustakaan setelah mata kuliah Kimia Organik usai. Di sana sudah menunggu Nina dan Doni yang sudah sejak tadi menghubungi lewat pesan singkat. Asty mengulang mata kuliah ini. Sehingga ia memiliki jam kuliah dikala Nina dan Doni kosong. Hanya di waktu itu mereka tidak bersama-sama. Selebihnya mereka mengambil mata kuliah yang sama di kelas yang sama.

Mereka berencana menerjemahkan beberapa sub bab dalam Complete Chemistry Rose Marie Gallagher, Chemistry6th edition James E Brady, A level Chemistry fourth edition Ramsden, An Introduction to General, Organic, and Biological Timberlake dan Chemistry sixth edition Mortimer. Selain untuk menyelesaikan tugas mata kuliah English for Chemistry, mereka memiliki target paham Bahasa Inggris dalam teks kimia serta fasih berbahasa Inggris untuk TOEFL dan conversation.

Asty mendapati Doni dan Nina begitu serius membaca lalu menerjemahkan ke buku mereka masing-masing. Ia mengambil satu kursi lagi. Duduk di depan mereka dan ikut nimbrung mengerjakan terjemahan tersebut.

“Oh sudah datang Ty, sorry kita terlalu konsentrasi,” Doni menyodorkan buku teks kepada Asty dan menunjuk mana yang harus dikerjakan.

It’s okay Don. Kita sudah semester tujuh, harus lebih giat dari semester-semester sebelumnya.” Jawab Asty enteng.  “Hooh Ty, semakin banyak yang kita pelajari, rasanya ilmu kita semakin cetek ya.” Nina tampak kusut. Ada beberapa kalimat di buku teks yang dia garis bawahi. Tidak menemukan terjemahan yang tepat.

“Iya, belum lagi kita persiapan TOEFL dan conversation-nya, kita bisa gak ya?” Asty pun jadi terbawa suasana.

“Jangan menyerah Tems. Ingat impian kita. Biar bersusah-susah dulu, nanti kita petik hasilnya,” Doni menyemangati. 

Nina menutup bukunya. Menahan dagunya dengan tangan kiri lalu tangan kanannya memain-mainkan ujung kerudung. Asty juga ikut-ikutan gaya Nina.

“Hey…impossible is nothing guys. Ikan salmon di laut aja bisa mengingat jalan pulangnya ke sungai. Padahal rute perjalanan itu baru sekali mereka tempuh saat masih balita dulu lo. Masa’ kita manusia yang bisa memakan salmon tidak bisa mengingat apa yang kita pelajari sejak dulu.”

“Idih, ikan salmon lagi,” Nina menyahut.

“Cari cerita motivasi yang lebih segar donk Don!” Asty menimpali.

Okay, aku gak cerita tentang ikan salmon lagi. Tapi kakak perempuannya. Kakak ikan salmon bahkan bisa berenang melawan arus, mendaki air terjun dan sampai ke tempat mereka dilahirkan dulu demi melahirkan telur yang imut-imut itu lo. Bayangkan kalau mereka tidak bisa. Kita tidak akan makan kakek, nenek, ayah, ibu dan keturunan ikan salmon.”

Plak. Dua buah kamus melayang ke kepala Doni. Hhh, nih manusia terobsesi sama ikan salmon apa ya? Doni hanya cengengesan menahan tawa.

Tidak terasa mereka sudah semester tujuh kuliah. Pertanda 3,5 tahun umur persahabatan yang terjalin. Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang merekatkan mereka dalam persahabatan indah itu. Mereka sama-sama membaca buku itu kala menunggu dosen memasuki kelas Kimia Dasar di hari pertama kuliah semester pertama.

“Baca buku juga ya? Kenalin aku Doni,” sapa Doni sambil mengguncang-guncang kursi Asty dari belakang. Sontak Asty menoleh ke belakang dan melihat Doni membaca buku yang sama. “Ho oh, ho oh, aku Asty. Salam kenal.” Bisik Asty sambil tertawa kecil. “Ujung sana juga tuh!” Doni menunjuk ke arah Nina yang duduk di pojok kanan belakang dua baris dari banjar tempat duduk Doni dan Asty. 

“Oh ya, kalo gak salah namanya Nina. Waktu ospek suka digangguin senior. Cantik sih,” Asty menjelaskan.

“Hooh, habis jam ini kita samperin dia yuk. Kita bedah novel ini bareng- bareng,” ajak Doni.

“Sip…sip…seru tuh,” Asty tampak semangat.

Tidak terasa waktu kuliah Kimia Dasar sudah berakhir. Pak Syukri keluar kelas diikuti mahasiswa yang lain. Doni langsung memanggil Asty dan Nina. Mengajak mereka bercengkrama di bawah pohon mahoni depan perpustakaan. 

Awalnya Nina bingung kenapa tiba-tiba ada orang sok kenal sok dekat menghampirinya. Tetapi setelah Asty dan Doni memperlihatkan novel yang sama, barulah Nina paham apa yang terjadi. Dia langsung terbahak dan menyambut perkenalan mereka.

Keakraban mereka terbina begitu mudah. Karena ketiganya sama-sama hobi membaca dan mengoleksi buku sebanyak-banyaknya. Bahkan mereka berjanji di usia 40 tahun nanti akan diadakan acara reunian dan open house di rumah masing- masing. Menghitung koleksi buku siapa yang terbanyak. Yang kalah, mentraktir yang menang. Traktirannya bukan makanan tapi selusin buku bacaan.

Persahabatan mereka dari hari ke hari semakin erat. Hingga mereka menamakan diri mereka sebagai laskar propana. Doni yang mencetuskannya.

“Hihi, kok bunyinya aneh gitu ya Don!” Nina tergelak mendengar Doni memberi nama gank ala anak SMA gitu.

“Kenapa laskar? karena kita berkenalan lewat novel laskar pelanginya Andrea Hirata. Nah, kalau propana pasti kalian tahu sendiri kan? Gak perlu aku jelaskan,” terang Doni.

“Karena propana jumlah atom karbonnya tiga. Tapi wujud kita gas donk! Kok aku jadi geli gitu ya.” Asty ikut berkomentar.

“Hahaha, di sanalah letak filosofi agungnya. Propana itu berwujud gas sehingga kita bisa terbang kemana saja kita mau. Melebarkan sayap, menggapai impian setinggi-tingginya. Jenius bukan?”

“Ah, maksa banget!” Asty dan Nina menimpuk kepala Doni saking gemasnya.

Bisa dikatakan, impianlah yang menyatukan mereka. Mimpi mereka sederhana saja yaitu bisa mengecap pendidikan pasca sarjana di luar negeri melalui beasiswa dalam negeri maupun luar negeri. Tamat kuliah mereka berencana belajar di kampung Inggris di Pare. Berkumpul dengan pencari beasiswa lainnya sehingga bisa update informasi tentang bagaimana menentukan perguruan tinggi yang sesuai dengan jurusan yang mereka tuju. Usaha mendapatkan LoA dari perguruan tinggi luar negeri, menaklukkan nilai TOEFL dan TOEIC serta segala macamnya yang mungkin belum mereka mengerti.

Membaca banyak buku membuat mereka mempercayai tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini asal berani bermimpi. Diimbangi dengan usaha keras dan doa yang tulus. Tidak ada usaha yang sia-sia di dunia ini jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh.

Mereka pun meyakini bahwa ilmu yang mereka miliki barulah setetes dari lautan ilmu yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia. Tanah yang mereka pijak hanyalah seujung kuku dari begitu luasnya bumi ciptaan Tuhan. Keindahan yang mereka nikmati belumlah apa-apa dibandingkan maha besarnya Tuhan pencipta semesta dengan segala keindahannya.

Maka, mereka bertekad untuk mengarungi kebesaran-Nya dengan mereguk ilmu sebanyak-banyaknya. Bersujud di luas hamparan bumi-Nya. Dengan otak, hati dan fisik yang dikaruniakan Tuhan kepada setiap manusia. Mampukah mereka? Kenapa tidak? Tuhan dengan segala ke-maha-anNya tidak mungkin menciptakan makhluk yang biasa-biasa saja bukan? Setiap manusia luar biasa.

Keyakinan dan tekad itulah yang membuat mereka tidak goyah merintis jalan menuju impian sejak awal perkenalan itu. Hingga sebuah pesan tepat di malam hari sebelum wisuda sarjana menghamparkan jalan cerita yang berbeda.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online