Cinta Sama Dengan Nol (27)

                                                                         Nina dan Doni

Penulis : Santi Syafiana, S.Pd


Asty melihat tautan alamat blog pribadi Nina. Segera ia membuka dan membaca tulisan Nina di sana. Nina banyak membagikan keseharian dan perasaannya dalam cerita singkat yang enak dibaca. Tentang kucing-kucing peliharaannya. Bunga yang ia temui di jalan. Perasaannya saat memandang pelangi. Juga bagaimana kuliahnya di Leiden. Asty senang membacanya. Perasaannya menjadi hangat akan kesan yang didapat dari cerita tersebut.

Dalam banyaknya tulisan Nina, ada satu catatan yang langsung menarik perhatian Asty. Pertanyaan, judul tulisan itu. Serupa laut, aku merindukanmu bersama debur ombaknya. Seuntai kalimat pembuka yang manis membuat Asty penasaran. Rindu pada siapa ini? Hati Asty berkata-kata.

Pada burung, aku pernah bertanya adakah yang lebih buruk dibanding penolakan? Namun ia hanya terbang tanpa menghiraukan pertanyaanku. Kepada angin aku juga bertanya, adakah yang lebih sedih dibanding perpisahan? Namun ia hanya mendengus lalu bergerak menjauhiku. Akhirnya aku bertanya pada laut. Adakah yang lebih menyesakkan dibanding ditinggalkan? Bersama debur ombaknya, ia menjawab rindu. Ya…rindu. Tak ada yang lain lagi dibanding itu.

           Kini aku hanya menatap jauh ke seberang. Laut benar. Aku merindukan sahabat-sahabatku yang menjauh. Perpustakaan. Buku-buku. Impian bahkan ikan salmon. Semua menjauh dan aku rindu.

        Asty membaca catatan itu berkali-kali. Ia jadi penasaran apa yang terjadi. Apa Doni juga menjauhi Nina karena rasa cintanya? Seketika rasa ingin tahu Asty bergejolak. Bergaya ala detektif, ia pun membaca postingan media sosial Nina setahun terakhir. Dengan analisis tingkat tinggi, ia menguntai babak-babak kehidupan Nina selama Asty di Aceh. Berfikir, berfikir, berfikir. Asty pun sibuk mencocokkan, menautkan, memberi pandangan-pandangan subyektif. Hingga disimpulkan bahwa Nina menolak cinta Doni. Nina menganggap Doni sahabat sama seperti perasaannya pada Asty.

            Asty pun tergelak dengan apa yang ia lakukan. Ia pun terbahak dengan kesimpulan yang ia temukan. “Don..Don..apes banget kamu Don, kikkikkikkik,” Asty terkikik. “gara-gara kamu, aku jadi jauh-jauh ke Aceh biar gak patah hati terlalu teruk, eh kamunya malah ditolak,” Asty tertawa lagi. Takdir ternyata membuat jalan yang lebih berwarna untuk persahabatan mereka. Namun, Asty senang dengan perjalanan hidupnya. Dengan begitu ia bisa mengenal Aceh. Berjumpa siswa-siswanya. Banyak belajar dari mereka. 

Baiklah tems, tunggu aku di Leiden! Senyum Asty sumringah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online