Cinta Sama Dengan Nol (2)

Orang Seperti Kita Tidak Bisa Hidup Biasa, Tem!

Penulis : Santi Syafiana, S.Pd

Asty mengemasi barang-barang yang ada dikos-kosan. Sebentar lagi Papa dan Mama datang menjemput. Dengan setengah semangat Asty melipat barang- barang lalu menatanya dalam koper dan kardus yang sudah disiapkan. Tinggal sebuah lemari pakaian dan kasur yang tidak terlalu besar. Untunglah ia tidak punya benda-benda besar lain seperti kulkas dan TV yang dimiliki teman-teman lain di kosan itu. Sehingga ketika pindahan tidak begitu banyak barang yang merepotkan.

“Kau yakin akan pergi, oh ya, apa nama daerah itu? Ada di peta kah?” Nina tiba-tiba datang entah dari arah mana. Menimpuk kepala Asty dengan boneka Doraemon kecil yang Asty berikan pada Nina sebagai kado ulang tahun. Cukup membuat Asty terkaget kaget dengan ulah jahilnya.

“Hei, jangan sekali-kali menerbangkan Doraemon tanpa baling-baling bambunya,” Asty mendengus kesal.

“Kamu beneran pergi Mas? Jangan tinggalkan aku Mas, jangan tinggalkan aku Mas, aku mohon, aku mohon!” Nina menirukan salah satu dialog sinetron yang sering mereka jadikan bahan ledekan. Dialog ini seringkali terdengar kala teman- teman satu rumahnya menonton televisi.

“Siang ini... siang terakhir bagi kita…” Asty lantas membalasnya dengan lagu dangdut lawas dengan lirik sesukanya.

Asty dan Nina adalah sahabat dekat, rapat dan lekat. Di mana ada Asty di situ ada Nina. Begitu bahkan orang mengibaratkan. Mereka satu jurusan, satu kelas bahkan satu kamar kos. Sering bertengkar namun segera baikan. Memiliki tipe bacaan kesukaan dan makanan yang sama.

“Ty, kamu yakin mau pergi?” Nina bertanya serius. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Asty. Kali ini ia menambahkan empat huruf K dan N untuk satu kata yakin yang ia ucapkan.

“Lebih dari yakin Tem. Kau kan tahu betapa pemberani dan kerennya aku!” Asty menjawab dengan sumringah. Jawaban yang tidak membuat Nina takjub sama sekali. Dia malah memandangi Asty dari atas kepala sampai jari kaki dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Untuk kemudian tertawa mengejek.

“Yaya, saking berani dan kerennya, ketemu laron aja teriak kejang.” Mendengar itu Asty merasa tidak terima. Walau yang dikatakan Nina ada benarnya sih. Namun demi kemaslahatan umat, ada baiknya Asty tetap membela diri.

Kini Asty berdiri gagah di depan Nina. Berlagak layaknya seorang caleg yang sedang mengampanyekan dirinya di tengah lapangan sepak bola.

“Nin, lihatlah aku dengan kaca mata utuh. Aku punya impian besar yang murni dan tulus. Itu semua tidak ada hubungannya dengan laron. Sekarang aku sudah sarjana. Menatap masa depan jauh ke depan dan perlu memiliki petualangan yang heroik. Sebelum terjangkit sindrom 25 tahun dengan segala target nikah dan punya anaknya.” Asty menjelaskan semua kalimat-kalimat itu dalam satu tarikan nafas.

Nina ikut-ikutan berdiri menduplikasi pose Asty. Kini mereka berhadap-hadapan seperti peserta lomba debat.

“Aku rasa percakapan ini sudah masuk kategori serius. Baiklah, sebagai manusia eksakta marilah kita uraikan satu persatu petualangan kau itu dengan kerangka berfikir ilmiah,” Nina memasang tampang Shinichi Kudonya. Asty menarik nafas panjang. Berharap tidak ada kaca pembesar dan jam tangan bius sebagai properti untuk Nina bicara.

“Baiklah Asty, sebelum kau memutuskan pergi ada baiknya kau mengenal daerah itu. Seperti kondisi geografis, topologis, demografis, bentang alam dan curah hujannya, eh.” Nina terkikik sendiri dengan pertanyaannya. Antara lucu dan tidak mengerti kata-kata yang baru saja meluncur mulus dari mulutnya.

“Maksudmu apa sih Nin, to the point aja deh. Aku bingung mau jawab apa!” “Hehe, maksudku kan daerah tertinggal. Di sana ada kendaraan gak? Listrik apa sudah masuk? Air aman? Sinyal gimana? Dan yang paling utama dari terutama dan utama adalah es krim ada gak?” Nina memandang ke arah Asty sambil membesarkan dua bola matanya. Ah mata yang indah. Besar dan berwarna kecoklatan. Mata  yang  selalu  membuat  aku  iri.  Organ  tubuh  yang  ingin  aku  curi  ketika  ada hari mencuri sedunia nanti. Eits, kok aku jadi memuji muji mata Nina ya. Asty malah bergumam di dalam hati. Suasana hening sesaat.

“Lo, kok diam Ty, kamu gagal fokus ya. Bagaimana bisa kamu bengong di tengah-tengah pembicaraan sepenting ini!” Nina melongos dan menarik tangan Asty agar duduk kembali. Kakinya terasa pegal berdiri lama-lama. Apalagi untuk pembicaraan ini. Perlu posisi yang lebih santai demi meluruskan pemikiran sahabatnya.

“Aku tidak tahu Nin. Aku juga belum tahu di sekolah mana aku ditempatkan. Aku searching di internet memang ada beberapa daerah yang belum masuk listrik. Tidak ada sinyal dan airnya kotor. Namun kota kabupatennya pasti lumayan lah Nin. Walau kita tidak bisa berharap banyak akan kehadiran es krim, pizza atau spaghetti.” Asty bicara apa adanya, sependek pengetahuannya.

No, no, no. Big No Tem. Jangan pergi lah Ty. Kamu masih bisa mengundurkan diri kan? Aku takut kamu makin kurus dan tidak terurus. Sedang ada aku saja di sini, beratmu saja masih berkisar 35-38 kg.” Wajah cantik Nina mengguratkan kekhawatiran.

“Hahaha, kau khawatir denganku? Tenang saja, kekhawatiran itu akan berubah menjadi kebanggaan yang tiada tara Tem. Tepat ketika kelak kau mengetahui betapa hebatnya aku terlihat dengan pengalamanku yang akan jauh lebih tua dari total umur kita berdua. Dengan melonjaknya pesona listrik, sinyal dan air di mataku. Dengan kerinduanku yang begitu syahdu akan makanan yang sulit kutemukan. Tidakkah itu sebentuk perjuangan yang tidak ternilai harganya? Tidakkah terbayang olehmu karena itu semua, satu detik berarti satu pengalaman dan berapa hasil perkalian pengalaman yang kupunya jika dikali detik-detik dalam setahun? Tidak maukah kau melihatku menjadi sosok yang luar biasa? Untuk itu aku harus menjalani hidup yang di luar kebiasaanku. Kehidupan seperti ini terlalu biasa bagi kita. Kau macam lupa saja, orang seperti kita tidak bisa hidup dengan cara biasa Tem!” Asty mengakhiri pernyataan itu dengan sangat kerennya.

Nina terbengong-bengong tidak percaya. Matanya kian melebar dan melebar saja. Kemudian ia tersenyum pendek. Senyuman yang tidak enak dipandang tentunya.

“Hei apa aku terdengar sangat muluk?” Asty mengguncang-guncang kedua bahu Nina.

“Sangat,” jawabnya singkat.

“Hihihi, okelah biar ini tidak terdengar muluk aku akan sedikit menambahkan penjelasanku yang menarik tadi.”

“Kalau kau berkeinginan menjadi guru nanti, kau pasti akan mengerti. Bagaimana kita bisa tenang, dikala kita mudah mengakses pendidikan yang bermutu. Tinggal pilih mau sekolah di mana. Mau di tempat unggul negeri atau swasta. Nun jauh di pelosok-pelosok Indonesia, ribuan anak bangsa tidak sekolah karena merasa pendidikan tidak ada gunanya. Di kala kita dengan mudahnya mendapatkan informasi berbagai perlombaan, seminar dan diskusi yang bisa meningkatkan kualitas diri. Ada anak bangsa yang tidak bisa mengenyam pendidikan secanggih kita di kota karena tidak ada guru dan sarana pendidikan yang memadai. Tatkala kita bisa bermimpi jadi apa saja, masih banyak generasi bangsa yang bahkan tidak tahu mimpi itu ada. Setidaknya kehadiranku di sana bisa membangkitkan mereka akan mimpi besar yang juga berhak mereka bangun dan gapai. Hal itu akan membuat aku merasa bermanfaat hidup di dunia ini,” Asty menjelaskan dengan berapi-api

“Fiuh, kau semakin muluk Tem. Tapi tidak apalah, setidaknya itu yang kau pikirkan sekarang. Tidak tahu nanti nanti bukan?” Nina melempar bantal tepat ke muka Asty. Mereka tertawa-tawa dalam perang bantal. Hingga akhirnya berpelukan. Nina lalu menggenggam jemari Asty dan bicara perlahan nyaris tidak terdengar.

“Kau yakin akan pergi Asty?” kali ini ada getaran di suara Nina.

“Yap, seyakin aku mau berteman denganmu walau taraf nyebelinmu sudah stadium akhir,” Asty menjawab sambil bercanda. Sedang Nina mempererat genggaman tangannya.

“Hei, jangan melow seperti ini. Aku harus segera mengemasi barang-barang sebelum Papa dan Mama datang.” Cepat-cepat Asty mencoba melepaskan tangan itu.

“Ini bukan melow Tem. Coba kau ingat-ingat apa yang telah kau lupakan,” genggaman tangan Nina kian erat. Asty tidak kuasa melepas genggaman itu walau sudah mencoba berkali-kali. Nina memiliki tubuh yang ideal. Tubuh kurus dan mungil Asty tidak akan bisa melawan kekuatannya.

Asty menjadi salah tingkah. Tidak tahu harus berbuat apa. Menatap mata Nina saja rasanya entahlah. Asty mencari topik pembicaraan lain. Hingga meluncurlah pertanyaan yang sangat ingin Nina tanyakan sejak tadi.

“Tidak ingatkah kau dengan impian kita bertiga?”

Ah, pertanyaan ini akhirnya muncul juga. Pertanyaan yang paling tidak ingin kudengar dari mulut Nina maupun dia. Asty membatin. Ia menarik jemarinya sekuat tenaga dari genggaman tangan Nina lalu berbalik badan meninggalkan Nina yang butuh jawaban atas pertanyaan yang sama sekali tidak ingin dijawab Asty. Sampai kapanpun itu.

Komentar

  1. Aduhhh jadi penasaran. Hehehe ... Tulisannya bagus. Bisa mengaduk-aduk emosi pembaca. Dari serius ke humor. Dari misterius ke serius. Keren.

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mbak...pantengin terus kelanjutan ceritanya ya :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online