Cinta Sama Dengan Nol (1)

Prolog

Penulis : Santi Syafiana, S.Pd

         “Gluduk. . .gluduk,” mobil melintas di jalan berlubang. Entah sudah kali ke berapa. Lantas oleng kiri, kanan. Berkelok-kelok. Mendaki menurun tidak beraturan. Menyisir punggung pegunungan. Persis seperti yang dikatakan banyak orang. Jalan lintas darat Sumatera melelahkan. Pendakian, penurunan disambut pembelokan seolah tiada habisnya.
        Tidak ada pemandangan yang bisa dinikmati. Kiri kanan jalan gelap dan gelap. Sudah tengah malam. Musik dangdut Minang remix bertalu-talu di gendang telinga. Dibunyikan keras-keras. Sengaja, agar supirnya tidak ngantuk di perjalanan. Mulai keberangkatan mobil itu adalah maghrib pukul 18.30 WIB. Perjalanan memakan waktu 18-24 jam sehingga sepenuh malam dinikmati di jalan. 
      Para penumpang didera pantat tepos, punggung pegal, pinggang tegang dan kaki bengkak. Terhimpit barang-barang dari Padang menuju tempat tugas. Mata lelah namun tidak tertidur jua. Tidak tega rupanya dengan anggota tubuh lain yang tidak nyaman berdesak-desakan di mobil sewa. Mobil yang akan mengantar Asty dan teman-temannya yang lain ke sebuah daerah yang sama sekali belum ia kenali. Bahkan namanya baru ia dengar karena mengikuti program ini.
        Ada 42 orang yang ikut dalam perjalanan itu. Asty tidak begitu mengenal anggota yang lain. Mereka hanya berkenalan sekedarnya sebelum berangkat. Beberapa dari mereka sudah ada yang akrab satu sama lain. Mereka diantar oleh dua Avanza, dua Innova, L.300 dan Suzuki APV. Ditambah satu mobil L.300 bak terbuka khusus barang yang banyaknya luar biasa. Mulai dari koper sangat besar berisi pakaian hingga kardus-kardus berisi buku-buku, alat tulis dan lain sebagainya. Ada juga yang membawa sekarung besar beras yang bisa ditaksir beratnya lebih dari 30 kg. Penanak nasi listrik, seperangkat peralatan dapur hingga tikar dan kasur. Persis sudah seperti orang pindahan. Maklum, mereka buta tentang daerah tujuan. Semua perlengkapan dibawa. Katanya daerah tertinggal. Khawatir kalau akses kemana-mana sangat susah. 
        Barang bawaan Asty juga cukup banyak. Satu koper dan kardus besar, tas ransel dan tas jinjing serta 10 kg beras. Ia sengaja membawa beras karena selera 2 makannya tidak begitu bagus. Jadi ia takut jika beras di perantauan itu tidak sesuai dengan lidah orang Minang seperti dirinya. Tapi Asty tidak sampai membawa tikar, kasur dan barang merepotkan lainnya. Cukup hadapi tembokmu! Motto hidup yang Asty yakini penuh. Pertolongan akan datang dari mana saja. Ia hanya perlu berbaik sangka. 
        “Hei…kucing!” Asty reflek berteriak. Kucing hitam besar melintas tiba-tiba di tengah jalan. Mobil rem mendadak. Semua penumpang terkejut dan suasana seketika meriah. “Bu Guru sekali ngomong, langsung menyebutkan binatang ya? Haha.” Pak supir yang masih berusia sekira 30-an tahun itu mengajak Asty bicara.
        “Oh maaf Pak, saya memang terbiasa teriak kalau kaget,” Asty menjawab dengan agak terbata. 
     Penumpang yang lain tertawa. Memang dari tadi Asty diam saja. Dia tidak begitu menyukai percakapan yang akrab dengan orang-orang baru. Bukannya takut atau apa. Ia hanya kurang nyaman saja. Perkenalan lebih dari sekedarnya. Pembicaraan yang ngalor ngidul hingga tertawa terbahak-bahak di dalam mobil bukanlah sesuatu yang menyenangkan buatnya. Apalagi di situasi seperti saat itu. Berdesak-desakan dengan barang dan teman lainnya. Musik yang sama sekali tidak ramah telinga dan baru saja berpisah dari keluarga membuat hatinya tidak baik-baik saja. 
        “Bu guru ngajar apa?” Ah, pak supir ini lagi-lagi mengajak Asty bicara. Asty ngedumel dalam hati.         “Kimia.” Jawab Asty pendek.
        “Bu guru pintar ya.” Kali ini Asty hanya menjawab celotehan pria itu dengan tersenyum.
        Tidak ada tanggapan lagi dari sang supir. Dia tidak berminat lagi bertanya tanya. Mungkin begitu juga dengan teman-teman lainnya. Tidak ada yang berminat mengajak Asty bicara. Ia tidak ambil pusing. Pikiran dan perasaannya tidak enak sekali. Banyak hal yang berseliweran di kepalanya. Beraneka rasa datang silih berganti mengeroyok hatinya. Kini Asty hanya bisa tutup mata rapat-rapat. Berdoa dalam hati kuat-kuat. Biarkan waktu merayap cepat. Sampailah ke tempat tujuan 3 dengan selamat. Lupakan Padang barang sejenak. Biarkan pilihan ini terasa mantap. Agar semangat dan pantang menyerah terasah kuat. Serba siap dengan tantangan apa yang menghadang di depan. 
     Tes. Asty merasa pipinya basah. Ia segera menyeka air mata yang mengalir lancar dari kedua pelupuk bola hitam putih itu. Cukup lelah saja mata, jangan cengeng. Ia membujuk.
        Berhasil. Aliran bening itu berhenti. Namun dadanya terasa begitu sesak. Ingin rasanya keluar dari mobil dan membuat keriuhan di jalanan lengang itu seperti di film-film. Hingga hidungnya pun ikut berulah. Mengeluarkan cairan yang tidak akan enak jika diketahui orang. Tiba-tiba bayangan sahabat karibnya muncul gentayangan di balik jendela mobil. Dia tertawa renyah sambil berkata “hei gadis cengeng, kau lupa lagak kau kemaren hah!” 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online