Kejahatan Tuhan

     
Nilam berharap tak ada yang melihatnya menyelinap dalam gelap tepat saat TOA Masjid di kampungnya mengedarkan azan shalat Isya di udara. Kini gadis 22-an itu telah berhasil mengendapkan tubuhnya di belakang dua batang pisang tepi jalan. Tubuh cekingnya ternyata bermanfaat pada detik itu.

Nilam pun berhasil memisahkan diri dari rombongan masyarakat desa di sepertiga perjalanan. Rombongan desa ini akan bertolak ke Masjid yang paling besar di kampung itu. Tradisi berombongan ke masjid untuk shalat Isya dan Tarawih ini sudah menjadi warisan yang melegenda. Tradisi yang kuno sekaligus menyusahkan bagi Nilam. Di balik dedaunan, Nilam menyaksikan tubuh rombongan kian lama kian mengecil. Tak terkecuali ayah dan ibu Nilam yang semula mengapitnya di permulaan langkah.
                                                                                   ***
Nilam satu-satunya gadis kampung yang berhasil sekolah tinggi ke ibu kota. Selain cerdas, orang tuanya juga juragan sawit di kampung. Masalah enteng bagi Nilam untuk memuaskan keinginannya. Keluarga Nilam juga merupakan keluarga yang terpandang sebagai pemeluk islam yang taat. Kendati mereka hidup kaya, sikap mereka biasa layaknya tetangga sekitar. Nilam belajar agama seperti mengaji, TPA, TPSA, sekolah rakyat persis bagaimana laku masyarakat sekitar tanpa ada guru-guru privat ke rumah.
Jika tidak seperti itu, masyarakat sekitar akan memandang itu sebuah ketidak laziman. Begitupun bagi keluarga Nilam. Ganjil, sekiranya itu tepatnya kata yang tepat jika tidak menjalankan syariat agama. Layaknya ilmu agama berikut pengamalannya terjalankan jua karena sudah terbiasa. Sederhananya, jikalau orang-orang kampung itu shalat dan sedekah di masjid tiap hari, karena memang itu lah biasanya yang mereka lakukan. 
“Kenapa kamu tidak bosan-bosannya shalat Lam?” pertanyaan ke dua puluh lima yang Nilam dengar dari pertama semester hingga memasuki semester ke tujuh ini. “Tak tahulah, terbiasa saja,” jawaban yang persis sama kala pertanyaan sama pada kali pertama. “Rasanya gimana Lam,” Mela bertanya heran. Sesegera mungkin Nilam menatap mata Mela tajam. Mengecilkan matanya dan memegang erat kedua lengan Mela. “Yah, juga biasa saja, hahaha,” Nilam pun berlalu mencari-cari headset komputer jinjingnya yang teringat kala shalat tadi.
                                                                                    ***
“Gimana Lam, masih banyak perbaikan?” tiba-tiba Mela sudah berada mengiringi jalan Nilam menuju ke sekolah tempatnya praktik mengajar. “Masih La, tinggal pengeditan video pembentukan warna ketika telah terjadi kesetimbangan asam basa saja, warna merah mudanya kurang terlihat La, jadi pembimbing minta itu diperjelas lagi sebelum diteliti ke lapangan,” Nilam menjelaskan sambil mengayun-ayunkan tas komputer jinjing yang digenggam di tangan kanan.
Tiba-tiba, “Haha…Kasian deh Lu,” teriak suara cempreng dari seorang pemuda tengik di atas motor yang melaju kencang. Ia tergelak senang sambil mengacung-acungkan tas hitam besar persis di depan Nilam dan berlalu. “Oi kembalikan laptopku,” sontak Nilam berteriak kencang sambil berlari mengejar pengendara motor itu. Tak terkejar. Seketika suasana senyap. Otak Nilam tak henti mengingat tawa kebahagiaan yang tak terprediksi sedikit pun sebelumnya.
“Lam, Lam. . .” Mela meraih tubuh Nilam yang memberat. Otaknya pun buntu memikirkan kalimat penyejuk kalbu apa yang tepat diucapkan karena Ia pun mendidih menahan emosi.
                                                                                    ***
Berhasil tak jadi shalat berjamaah di mesjid. Nilam berlari memutar  ke rumah Rindang. Di perjumpaannya tadi siang, Rindang sempat menyatakan kalau Ia tidak puasa karena sedang datang bulan. Rumah Rindang pasti hanya ada Rindang dan Nilam. Mereka bisa menghabiskan waktu bercerita banyak hal sambil menonton film. Dan memang, ditemui di rumahnya, Rindang sedang asyik menonton film yang tadi siang didownloadnya. Melihat Nilam, Rindang pun merasa lebih baik. Namun tak lama Rindang pun terusik, karena ia baru sadar kalau bukan jatahnya Nilam datang bulan saat ini. “Lam, kok kamu tak shalat ke masjid,” Suara Rindang mengawang di udara. Antara ragu dan heran. “Hmm percuma Ndang, Tuhan itu jahat. Lihat saja, Ia menciptakan kejahatan hingga aku gagal wisuda tepat pada waktunya.”
                                                                                                                            Padang, 27 Maret 2013

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online