Tentang Mimpi

Saat-saat begini baru terpikir entah aku salah jurusan atau aku yang salah bermimpi
Fi menarik nafas dalam. Membuka notebook kecilnya. Lantas menulis. Rencana jangka pendek Fi. Begitu judul catatannya. Fi membiarkan aku mengintip tulisan itu. Fi sedang menambahkan daftar berikutnya dari beberapa daftar yang dia tulis sebelum-sebelumnya. Mencekik dan mengoyak mulut…Kata selanjutnya tertutupi tangan Fi.Aku memandang Fi dengan penuh selidik. Fi balas memandang ke arahku tanpa beban apa-apa. Tak lama dia memulai ceritanya.

“Kau tahu, tak ada yang lebih mulya dibanding mimpiku ini Na. Kalau tak ada aku, tak akan ada dokter, hakim, pengacara, perawat, pilot, pengusaha, dokter bahkan presiden sekalipun. Aku perlu ada Na. Kalau tak ada aku, banyak anak muda yang galau menentukan masa depannya. Siapa coba yang akan mengarahkan cita-cita mereka dan menanamkan tekad tangguh, berani, berfikiran positif untuk terus berjuang demi masa depan cerah sesabar aku. Mimpiku ini bukan main-main.”


“Jadi? Apa masalahmu?” Aku bertanya ragu.

“Masalahku sebenarnya sederhana Na, sepertinya aku terlalu menghayati do’a usai belajar waktu SD dulu.”

“Lha? Do’amu apa?”

“Enam tahun aku di SD, setiap akan pulang. Ketua kelas akan menyiapkan kami. Lalu ia berteriak memerintahkan berdoa. Dengan suara lantang kami semua serentak menyebutkan hamdallah. Dan…. “Ya….Allah, semoga pelajaran yang kami terima berguna bagi nusa, bangsa dan agama.” Bukankah mimpiku ini yang paling sesuai dengan doa ini Na. Bayangkan kalau tak ada aku?”

“Lantas? Apa hubungannya dengan rencana jangka pendekmu barusan?” Silahkan lanjutkan ceracaumu teman, aku membatin.

“Kau tahu Na, hormat dan seganku pada guru masa dulu alang kepalang Na. Kalau aku bertemu guru di jalan luar sekolah, radius dua kilo meter saja, aku sudah lari tunggang langgang saking segannya pada guruku. Kalau memang sudah sangat berpapasan, aku akan berjalan terbungkuk-bungkuk ke depan guruku untuk menyalami dan menempelkan tangannya di dahiku.”

“Bukan kamu saja Fi, aku dan teman-temanku juga seperti itu,”

“Huftttt….itulah. Waktu dulu aku bermimpi dan berusaha menggapainya. Aku lupa meramalkan generasi masa depan akan seperti apa. Kalau mereka lamban, aku tak akan bosan mengulang-ulang. Kalau mereka lupa membawa alat tulis, tak akan segan aku meminjamkan. Tapi kalau semudah itu mereka tak menghargai gurunya. Serasa aku tempeleng dia. Melawan nasehat guru dengan bahasa yang kurang sopan ini lo, tak tahan aku mendengarnya.”

“Jadi rencana itu apa benar akan kau lakukan?”

“Ya, tidaklah…itu cuma gaya-gayaan aku saja. Aku kan pendidik, tak mungkin pula aku mendidik mereka menjadi pencekik dan pengoyak mulut manusia.”

“Hahahaha, kamu masih saja bangsat yang baik hati,”

“Tak tahulah Na, kadang aku berfikir entah aku salah jurusan atau aku yang salah bermimpi. Kamu enak Na, jadi wartawan. Bisa bertualang ke tempat-tempat baru, bertemu orang-orang baru dan  mempelajari ilmu-ilmu baru. Kamu sepertinya menikmati hidupmu sesuai dengan passionmu.”

Glek, aku tersedak. “Jadi itu inti masalahmu? hoho, apa kamu pikir mimpiku jauh lebih baik dibanding mimpimu? Kau hanya tidak tahu, kekalutan dan penyesalan apa yang sering kuhadapi. Jika kau melihatku senang begini itu karena aku hanya fokus pada hal-hal yang positif. Jika aku berkutat pada hal negatif seperti kau saat ini, mungkin aku sudah satu meter di bawah permukaan tanah, khekhekhe,” aku terkekeh.

Percakapan kami terhenti. Fi mencoret rencana jangka pendeknya tadi. Sebetulnya kami berdua sama-sama sedang memahami, bahwa mimpi itu indah ketika masih berwujud mimpi. Kala sudah menjadi realita, kami cukup mempertahankan agar tetap indah sebagai wujud kesetiaan kami pada mimpi yang berani kami impikan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online