Cinta :
Bagimu, apa itu cinta?
Bagiku, cinta adalah penguras selera makan. Bukan
lagi penantian panjang yang dieksekusi oleh takdir. Juga tak lagi, piala yang
mesti dimenangkan. Biarkanlah cinta itu tersembunyi di bagian tersuram hatiku. Mungkin
akan ada hal buruk setelah itu atau malah hal baik sesudahnya. Ya, itulah cinta
bagiku. Setidaknya untuk saat ini.
Dulu bagiku, cinta adalah sebuah proses menunggu.
Menunggu ia sadar bahwa ada seseorang yang selalu setia di sini menyemangatinya
lewat doa. Menguntitnya lewat jejaring sosial karena meresahkan kesehatannya.
Cinta yang begitu bisu. Hanya bergemericik dalam kolam hati yang tak pernah
tenang. Sedang yang ditunggu tak kunjung sadar. Ia malah punya cinta yang lain.
Tatkala hatimu begitu sakit ketika ia memikirkan orang lain, masihkah itu berarti
cinta? Karena sang penguntit tak mengubah kebiasaannya. Entah atas dasar cinta
atau menunggu untuk dapat menyaksikan kehancurannya. Ah, tentu saja itu salah.
Hei sang penguntit, walau cintamu penting, cinta orang tersebut juga penting
bukan?
Lain dengan temanku. Baginya, cinta adalah sebuah
cerita. Cerita yang cukup kau jalani apa adanya. Mengikuti alur yang kau
yakini. Hingga di kala alur tersebut melenceng dari perkiraanmu, kaupun
mengutuk dirimu sendiri. Mengapa cinta membuat jarak yang sebegitu lebarnya?
Mengapa cinta justru dipertanyakan pada saat titik terendah kepercayaanmu
padanya. Kau harus terdepak jauh dari cerita. Cerita yang sulit terlupa. Cinta
yang begitu payah.
Aku tak menyangka temanku yang rapuh kelihatannya ini
ternyata kuat juga. Dia ingin kembali menjadi bagian dari cerita. Namun
sayangnya, semua terlambat sudah. Cintanya hilang tanpa jejak. Bahkan kata
pencarian tentangnya di sosial media pun seolah hilang disapu gelombang pasang.
Kemana hendak dicari. Dengan apa bisa dituju. Mengetahui kabarnya saja tak ada
jalan. Mungkin di cerita itu, namanya tak tertera lagi.
Dan tiba-tiba, di suatu malam yang berisik, aku
menyaksikannya terisak. Bulir-bulir kristal menganak sungai. Mata dan pipinya
basah. Namun bibirnya tersenyum. Sebuah nama terdeteksi di pencarian jejaring
sosial.
“Sembilan
tahun lamanya. Kupikir rasa itu sudah tak ada ternyata masih tetap sama,”
Aku
terharu mendengar penuturannya. Aku melihat matanya. Matanya bersinar seolah
berkata dengan mantap. “Aku ingin kembali dalam cerita”. Namun sesegera mata
itu redup kembali. “Bagaimana cara?”
Hah, sudahlah. Cinta bagiku adalah penguras selera
makan. Apa kau bisa sependapat denganku?
Nb. Cerita untuk seorang
teman, tetap semangat! Semoga kamu menemukan cara itu J
Komentar
Posting Komentar