1# Perempuan Berperawakan Angkuh

            Seingatku waktu itu dia menggunakan jilbab kuning, blouse hitam dan rok kuning bermotif bunga-bunga. Ah, pertemuan pertamaku dengannya sudah lama sekali. Dari sekian banyak perempuan di perpustakaan, dialah satu-satunya perempuan yang menarik mataku untuk memperhatikannya dengan seksama dan dalam tempo yang cukup lama. Caranya berjalan, mengitari rak buku, mengambil buku-buku tersebut dan menyandangnya di tangan kiri. Reaksiku waktu itu adalah bergidik ngeri. Apalagi setelah melihat mimik wajahnya serta diameter bola matanya ketika memelototi buku-buku intaiannya. Gidikan ngeriku bertambah dua kali lipat. Sepertinya dia angkuh. Aku takut. Tapi untuk tidak menyapanya, aku merasa tidak sopan. Karena dia kakak seniorku.

            Uhf, don’t judge the book by the cover. Aku berusaha menenangkan diri. Aku mendekati sasaran. Haha, menghadapi petinggi kampus saja aku berani, masa’ kakak senior sendiri kecut begini. Lagi-lagi aku berusaha menenangkan diri. Aku semakin mendekat. Hoho, aku cukup bertanya buku apa yang Kakak cari? Jarak kami kian dekat. Dan perkenalan itu terjadi juga. Perkenalan yang sangat singkat untuk ukuran keramah tamahanku, hehe. Karena dari perawakannya, dia terlihat begitu angkuh walau cara dia bertutur kata tidak se-angkuh penampakannya. Walau begitu, aku sedikit berkeringat. Entah kenapa, berbicara dengannya membuatku kurang nyaman.
            Dia adalah sosok perempuan yang bagiku sangat modern. Hoho, dulu bagiku modernitas seorang perempuan terlihat dari caranya  berpakaian. Modis atau tidak. Caranya memasang jilbab. Penuh gaya atau tidak. Dan yang paling penting skala perkenalannya dengan alat-alat kosmetik seperti bedak, lipstick, eye liner, dan maskara sudah masuk ke skala C5 yaitu sintesis setelah melewati taraf penerapan secara kontinu. Aku agak sungkan berhadapan dengan perempuan dalam balutan modernitas tersebut. Maklum, dalam percaturan taraf modernitas perempuan, aku tergolong pada perempuan zaman purba. Jangankan berpakaian modis dan jilbab penuh intrik, bersolek wajahpun belum terpikir olehku. Malulah aku bersandingkan dengan perempuan yang kutemui di perpustakaan siang itu. Mungkin itulah penyebab aku tidak menutup pembicaraan kami dengan pantun “jika ada sumur di ladang bolehlah kita menumpang mandi. Jika ada umurku panjang bolehlah kita bersua lagi.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online