Sokola Rimba
Pernahkah
kamu merasa sangat yakin kalau kamu akan mati beberapa jam lagi? Aku pernah. Waktu
itu tahun 2012 di Aceh. Aku sedang melatih siswa anggota English Club di sekolah. Tiba-tiba bumi bergetar dengan hebat. Gempa
menghoyak cukup keras. Aku berusaha
menyikapinya dengan sangat biasa agar siswaku merasa tenang. Namun beberapa siswaku
berteriak-teriak “kiban laot…kiban laot”. Artinya air laut gimana? Sekolah kami
dekat sekali dengan laut. Jika setengah jam lagi tsunami. Habislah kami.
Aku mencoba menenangkan siswaku walau hatiku kalang
kabut bukan main. Salah seorang temanku malah berbisik, “Nty, darahmu pada lari
kemana?” Aku tersenyum kecut sambil merogoh kantong tasku. Memeriksa KTP.
Alhamdulillah ada. Aku bahagia bukan main. KTP kupindahkan ke kantong rok. Jika
aku mati nanti, orang tahu kemana mayatku mesti diantar. Haha
Aku mengingat lagi kejadian tersebut
malam ini karena Butet Manurung lebih sering mencium aroma kematian dibanding
aku. Bedanya dia bukan memastikan keberadaan KTP di tubuhnya namun membuat
surat wasiat. “Mama, maaf sudah memaksa
bekerja di sini, mungkin besok Butet sudah mati dimakan beruang atau harimau.
Utet ingin mama tahu, Utet sayang mama dan Utet tidak menyesal…” Walaupun waktu
itu dalam hati Butet berkata, “sumpah gue nyesel setengah mati! Haha.
Aku menemukan idola baru. Butet Manurung, seorang
perempuan antropolog yang mendedikasikan diri pada usaha pemberdayaan suku-suku
terpencil di berbagai pelosok nusantara lewat bidang pendidikan dan
pembelajaran. Bukunya Sokola Rimba berisi tentang catatan harian Butet saat ia
tinggal bersama orang rimba di kawasan hutan Bukit Dua Belas di Jambi. Kehadiran
buku ini bagiku merupakan penawar akan rasa hilang kepercayaanku akan adanya
ketulusan di muka bumi ini. Butet memberiku gizi batin berupa idealisme,
inspirasi dan motivasi untuk tetap berani dan semangat melakukan petualangan
yang positif.
Aku sangat tersentuh akan ketulusan Butet mendekati
orang rimba agar mau belajar baca, tulis dan hitung. Orang rimba dengan sangat
mudah ditipu saat menjual hasil ladang ke pasar dalam hal timbangan dan
perhitungan jumlah uang. Sayangnya, bagi orang rimba kata sokola (sekolah)
merupakan kata yang horror. Mendengar kata sokola saja mereka langsung menjauhi
Butet. Seringkali Butet diancam, dicekal dan diusir karena dianggap sebagai
pembawa penyakit dan pengusik adat budaya Rimba.
Ditambah lagi bahaya binatang rimba seperti lebah,
beruang, harimau, ular dan serangga berbisa yang menghiasi perjuangan Butet
untuk memberi ilmu kepada orang rimba. Ketakutan tentang mati dikoyak binatang
selalu menghampiri Butet. Namun Butet tidak mudah menyerah. Baginya jika memang
takut apakah itu berarti kita takkan pernah melakukannya?
Selain perjuangan Butet akan pengenalan
baca-tulis-hitung terhadap orang Rimba. Butet juga membeberkan budaya dan
bahasa orang rimba yang sangat menarik untuk diketahui. Huft tak sabar aku
menantikan akhir tahun ini yang konon katanya buku ini juga akan difilmkan oleh
Mira Lesmana dan Riri Riza dan akan tayang akhir tahun 2013.
Buku ini membuatku berkaca setiap hari. Walau sama-sama
meyakini “saat kamu memberi, kamu sedang
menerima”. Aku belum melakukan apa-apa. Two
Thumbs up buat Butet Manurung yang sukses besar menyinggungku lewat Sokola
Rimbanya. Melebihi singgungan Coboy Junior dengan lagu eeeaaa (feeling
wonderful).
Batusangkar, 28 Juli
Komentar
Posting Komentar