Sumpah, Saya Galau Jendral!!!
Hari ini benar-benar
galau terburuk di era peradaban modern kehidupanku yang fana ini. Sepanjang
siang temaram (anggap saja begitu walau matahari terik sekali siang tadi, maklum
ane galau Tem) aku menangis pilu. Bayangkan, sambil shalat dzuhur, shalat
ashar, makan nasi, nonton TV, bahkan sambil bicara dengan orang sekitar yang
menanyai mengapa mataku merah, selesma beriliran, tampang tak sedap dipandang, aku
mewek kayak anak kecil sedang belajar berjalan yang jatuh masuk sumur. *Sumpah,
kayak sinetron anak tiri aja. Mengenaskan bukan? Galau ter-brutal dan
ter-memalukan jika dikaji pasca suasana hatiku mulai tenang dan terkendali di saat
ini (ambil tali gantung diri).*Pengen muntah kalo diinget-inget, malu-maluin
aja
Sejatinya ini masalah yang sepele. Kalau diibaratkan
spectra/gelombang, maka spectra hatiku untuk masalah yang sebenarnya sangat
mudah dipecahkan ini memiliki banyak puncak. Berhubung aku anak yang cerdas,
sabar dan ikhlas, (cieeee, hehe ini beneran looo) aku mencoba selalu berfikiran
positif dan mengambil hikmah dari hal ini. Namun anehnya tidak kali ini,
mungkin masalah ini muncul di bulan-bulan sensitifku (hehe).
Persoalannya sederhana saja, kau boleh memilih pasangan
hidupmu tetapi kau tidak diperbolehkan memilih ayah ibumu, saudara-saudaramu
dan lahir pada urutan ke-berapa dirimu. Nah lo. . . simak lagi point terakhir, lahir
pada urutan ke-berapa dirimu. Inilah yang menjadi prahara hidupku yang cukup
memilukan, (hiks hiks). Sebenarnya aku punya fantasi gila yang sebetulnya tetap
berujung kegalauan. Begini ceritanya.
Alkisah
kala aku masih berupa kristal jiwa di langit sana, aku meminta sambil merengek pada
Tuhan agar aku dilahirkan pertama kali seperti kakak pertamaku. Dengan begitu
aku bisa menikmati tumpah ruah cinta kasih Papa Mama seperti kakakku. Aku akan
dibawa jalan-jalan setiap malam minggu ke bioskop. Memiliki banyak fhoto
berbagai pose yang memenuhi hampir setiap dinding rumah bahkan fhoto tersebut
juga ada di rumah saudara Papa dan Mama. Kalau bajuku tidak muat lagi dan mainanku
sudah tak menarik lagi, akan kuwariskan pada adik keduaku. Lalu aku beli yang
baru, horeeeee. Perfecto Batusangkaro.
Namun
Tuhan menggeleng.
Bagaimana kalau menjadi anak ke-tiga saja tapi laki-laki.
Pada Tuhan aku merajuk. Seperti saudara ketigaku. Jadi anak laki-laki
satu-satunya dalam keluarga pastilah menjadi makhluk yang sangat diharapkan.
Aku tak perlu menggunakan barang-barang warisan dari kakak keduaku. Aku
istimewa dunk. Semua baru dan berbeda. Itu yang perlu.
Tapi
Tuhan juga menggeleng.
Ya
sudah, aku anak ke-empat saja. Ini tentu paling mengasyikkan. Bukan hanya Papa
Mama, tiga orang Kakak akan menyayangiku. Hahahaha (tertawa ala nenek sihir).
Walau perempuan, tentu saja aku bukan ahli waris seperti kakak ke-duaku, tak
mode dunk zaman sekarang ini benda-benda tersebut. Aku akan menjadi pusat
perhatian yang menggemaskan. Dibutuhkan bahkan dicium-cium dan
digendong-gendong (xixixixixi). Daaannnnn Tuhan menggeleng lagi sodara-sodara.
Jadilah aku anak kedua.
Dan beginilah aku. Sering galau kalau sudah berkumpul
semua tapi paling rusuh kalau sudah tersebar kemana-nama. Aku pikir-pikir lagi,
puncak galau tertinggi yang nyaris menyaingi Mount Everest hari ini
disebabkan oleh pertanyaan “Mengapa sejak balita dulu aku ditakdirkan sebagai
makhluk pengalah?” (entah apa-apalah ini). Dikala ketiga saudaraku bisa saja
diampuni melakukan hal yang tidak mereka sukai, hal tersebut akan terlempar
padaku. Serasa tak ada ampun jika aku tidak melakukannya. Mungkin kedua orang
tuaku sudah membaca tipikal anak kedua dari buku-buku psikologi sebelum
melahirkanku. Pengalah. Cukup dua kali rayuan, aku sudah tunduk. Mungkin ini
juga penyebab fhotoku paling sedikit dibanding saudara yang lainnya (tuh kan
jadi galau lagi).
Kalau
sudah begitu, aku selalu berfikir dunia ini tidak adil. Temanku pernah berkata
begitu dengan tampang meyakinkan. Oleh karena itu, aku semakin yakin dunia ini
tidak adil.
Lama
kelamaan, aku lelah sendiri. Akupun mengambil majalah bobo tempo dulu,
membacanya, berfikir beberapa saat, lantas menulis catatan ini. Hmm, membaca
plus menulis memang sahabat dan obat paling mujarab. Lambat laun aku sadar
sendiri akan kebodohan yang kulakukan. Aksi galauku ini sebenarnya malah
menyadarkanku bahwa dunia ini adil tergantung dari sisi mana kita melihatnya.
Jika kita melihat dari sisi yang buruk saja, sampai kiamatpun dunia ini tak akan
pernah adil-adilnya. Lihatlah dari sisi positif.
Selalu
ada hikmah walau sekecil apapun kejadian yang terjadi dalam hidup kita.
Sayangnya kita hanya melihat hal-hal buruk yang mengiringi jalannya kejadian
itu. Ingat, satu saja daun yang jatuh ke tanah terjadi karena takdir Tuhan.
Hikmahnya adalah menjadi pupuk kembali bagi pohon itu atau pohon-pohon yang
lain. Walau daun yang terpilih itu tak lagi di atas batang, fungsinya jauh
lebih penting dibanding saudara-saudaranya yang masih menggantung di dahan.
Jika dia seperti sifat kekanakanku tadi siang, tentu saja dia tidak akan
mendapat pahala sebagai pupuk, malah dosa bertubi-tubi sebagai daun pencemburu
karena selalu mengumpat-umpat.
Enaknya,
aku sadar kalau aku bodoh dengan sengaja melupakan semua kasih sayang yang
dicurahkan orang tuaku. Gak enaknya, aku harus galau ceracau alay bombai dulu
baru mengerti arti bersyukur (tunduk kepala).
Batusangkar, 7 Juli
Komentar
Posting Komentar