Bukan Hidup Namanya


            Perumpamaan sapi perah yang dicucuk hidungnya dan siap untuk disembelih. Perumpamaan memanjat pohon mangga dengan susah payah demi mangga yang tak ada. Laksana kami. Awalnya aku ragu untuk menggoreskan kisah ini, tapi sekelebat wajah anak cucuku muncul dalam imajinasi. Aku harus punya banyak cerita untuk mereka nanti. Nak, Cu. . .kuperkenalkan pada kalian Hukum Hess, hukum yang memperlakukan kami semena-mena bak seekor sapi dan pemanjat pohon mangga. Kumulai kisah haru ini dari seekor sapi.
            Seekor binatang yang tak tahu apa-apa ini tiba-tiba sering muncul dalam percakapan kami. Sedang sarapan pagi dengan menu “istimewa” nasi keras campur mie hambar berhias telur mata sapi tegang. Lontong gulai bumbu air laut campur telur basi. Maupun bubur kacang padi rasa air, sapi tetap menjadi trending topic. Laksana sapi perah, kami juga akan divorsir belajar dari jam 8 pagi hingga 6 sore nanti.
            Namun, setidaknya sapi perah lebih beruntung. Hidungnya tidak dicucuk untuk menuruti puluhan tuan yang berjalan beda arah tujuan. Sedang otak kami digiring kesana kemari menuruti isi kepala dosen yang beraneka ragam. Bertolak belakang, malah beberapa menyodorkan masalah tanpa solusi. Kamipun tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Tapi bukan butiran debu. Kami hanya menunggu untuk tersesat ke jalan yang benar?Bisakah?
            Dan sayangnya setiba kami merasa di jalan yang benar. Kami tiba di detik-detik penyembelihan. Nak, Cu, Inilah hukum Hess “Entalpi reaksi tidak tergantung pada jalannya reaksi melainkan pada hasil akhir reaksi.” Siapa yang peduli dengan perjuangan kami begadang sampai jam 3 pagi menyelesaikan tugas, menunggu jalannya printer yang akan mencetak 4 rangkap untuk kemudian menjadi sampah tak berguna, menerjemahkan buku text, mengkopi ini itu, memperbaiki yang rasanya tidak sesuai keinginan dosen, berdiskusi berhari-hari mencari solusi terbaik bahkan menghindari hobi-hobi menyenangkan demi konsentrasi tinggi. Hingga pada akhirnya penentu hanyalah hasil akhir yang dieksekusi salah.
            Walau begitu, kami tetap menyantap makan malam menu 3 T (telur, tahu, tempe) dengan penuh ketegaran plus aneka gulai rasa air laut dan cabe pedas kepahit-pahitan. Permulaan untuk pertanyaan ketika bangun tidur, “Untuk apa semua ini?” Pertanyaan ini malah dijawab dengan pertanyaan baru, “mungkinkah kami memanjat pohon mangga yang tidak berbuah?”
Sudahlah, bukan hidup namanya jika berjalan dengan mudah. Dan bukan hidup pula namanya jika kita lupa bersyukur. Tuhan tidak bermain dadu dan tidak memberi jalan buntu. Tetap hadapi tembokmu. Dan esok, kami berjuang lagi meski tak tahu untuk apa semua ini!
Padang, 26/4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online