Petir


Baru-baru ini aku menemukan hobi yang jenius. Kukatakan jenius karena hobi ini merupakan pemecahan masalah dari pengerdilan segala bentuk kreatifitas yang disebabkan oleh hidup di sekotak asrama. Menikmati senja dan gelap malam di lantai 6 asrama. Itulah hobi yang membuatku kembali merasakan hidup yang penuh sensasi. Lantai 6 tersebut sama dengan atap asrama yang sama sekali tidak dipagari palang ataupun tembok pembatas. Hanya lantai beton lepas yang cukup memacu adrenalin jika kita mendekat ke bagian tepi. Salah-salah bisa jatuh dan dipastikan langsung mati karena terlalu tinggi.

            Aku terlambat menemukan hobi ini karena ternyata beberapa orang sudah lama menjadikan tempat ini sebagai basecamp dalam berelaksasi. Ada yang kumpul makan-makan bersama teman. Ada yang sekedar duduk-duduk dan tidur-tiduran sambil mendengarkan musik, bahkan ada yang membaca Al-Qur’an.
            Mungkin saja kegiatan tersebut menjadi menyenangkan karena suguhan pemandangan dari atas sana begitu indah. Lebih dari cukup untuk relaksasi mata dan pikiran. Kita bisa pilih menghadap ke arah mana sesuai selera. Di kala senja, aku lebih suka duduk menghadap ke depan demi menjadi saksi terbenamnya matahari sore hari. Menantang pantai nan indah yang dipagari deretan awan-awan yang menyerupai bukit barisan. Kala mentari tak tampak lagi, sang lautan dipayungi langit yang kemerah-merahan membentuk gugus-gugus tertentu yang membuatku tak henti mengucapkan Subhanallah, indahnya.
Jikalau malam, aku lebih suka tiduran di atas beton keras dan dingin itu untuk menghitung bintang di langit. Sayangnya, bintang-bintang begitu jarang memperlihatkan rupanya di angkasa. Alhasil aku hanya menghitung titik-titik lampu yang mengawang di malam pekat dengan pikiran melayang entah kemana. Arwahku seakan tidak di jasadku lagi. Karena aku sangat suka mengkhayal.
Mengkhayal itu sangat menyenangkan. Sedang melakukan apa saja, aku tetap sempat-sempatkan diri untuk mengkhayal. Bahkan, aku tidak bisa tidur sebelum mengkhayal. Khayalanku bukanlah bagaimana aku tiba-tiba menjadi seorang putri raja dari kerajaan Majapahit yang cantik dan baik hati. Atau menjadi Hermione namun meninggalkan kekasihnya Ron Weasley demi menikah dengan Harry Potter. Tidak muluk dan aneh seperti itu. Khayalanku hanya seputar reka ulang kejadian yang sudah kualami namun kurangkai dengan versiku sendiri. Dimana aku akan menempatkan diriku menjadi sosok hero dan melakukan hal benar tanpa cela.
Terkadang khayalanku juga merambahi buku-buku yang sedang kubaca. Mungkin lebih tepatnya memvisualisasikan deretan aksara tersebut ke dalam gerakan-gerakan nyata buah khayalanku sendiri. Baru saja kemaren, aku berhasil mendapatkan buku ketiga dari Tetralogi Supernova yang telah lama kuidamkan. “Petir”, buku ketiga setelah “Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh” dan “Akar”. Sebenarnya, aku tidak terlalu menitikberatkan akan kisah asmara Reuben dan Dimas. Bagiku itu hanyalah pelengkap dari kisah inti yang ingin disuguhkan Dee. Perpaduan antara science, sosial, budaya dan estetika yang diracik sedemikian apiknya membuat khayalanku penuh ledakan-ledakan yang tak terbantahkan.

Pada akhirnya “Petir” sudah ada di tanganku. Buku itu dimulai dengan puisi yang membalikkan pandanganku akan petir yang gagah tapi menakutkan, menjadi petir yang ditunggu untuk didekap. Mendamaikan bukan meneriaki. Tak akan kusayatkan luka demi menggarisi jarakmu dengan aku. Karena kita satu, andai kau tahu. Begitu bunyi bait terakhir.
Aku beralih ke halaman selanjutnya. Keping 37, Kado Hari Jadi. Hari jadi hubungan ke 12 tahun bagi Reuben dan Dimas. Di atas Lantai 6 di bawah naungan langit kemerahan. Di saat berkhayal dalam hobi jenius ini dapat kulakukan dengan begitu entengnya. Aku pun menjadi bingung sendiri. Membayangkan usaha keras Dimas mencari kado hari jadi, harusnya bagian itu menjadi khayalan yang menyenangkan. Terlebih untuk angka 12 yang bisa tergolong hubungan berumur panjang. Tetapi yang kubingungkan, bagaimanakah perasaan sebuah jeruk yang memakan jeruk? Perlukah aku mengalami proses kreatif akan lahirnya cerita dari sang penulis? Akupun terjebak dalam petirku sendiri.
Padang, 29/4

Komentar

  1. Kendati tidak bisa ikut serta ke lantai-6, apakah kita tidak bisa berbincang-bincang di lantai dasarnya? :D

    BalasHapus
  2. Bisa saja...datanglah kesini. . . ..bawa makanan banyak banyak :) hehehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online