Tentang Aku Kodok
Aku
terhenti di halaman 493 buku Titik Nol karya kak Gus. Aku membacanya dengan penghayatan
penuh. Membelakangi teman-temanku. Menghadap dinding sambil membentur-benturkan
kepala (walau yang sampai ke tembok hanya permukaan rambut belaka, hehe).
Membuat teman-teman sekamarku kebingungan dan merasa bersalah. Untuk sesaat aku
merasa sembrono pasang gaya aneh ketika membaca. Satu sms masuk. Salah seorang
temanku meminta maaf. Aku tertawa tanda tak ada masalah apa-apa. Beberapa saat
kemudian, temanku tadi menangis ketika kami makan malam bersama. Aku pura-pura
bingung, karena suasana yang begitu beku membuatku serasa berada dalam sebuah drama
korea.
Bagian
yang kubaca tadi adalah tentang seekor kodok yang dicemplungkan ke dalam panci berisi
air hangat. Suhu air dinaikkan sedikit, si kodok belingsatan, sampai dia
terbiasa dengan suhu itu, lalu menjadi tenang menerima keadaan. Suhu air
perlahan-lahan dinaikkan sedikit lagi lalu distabilkan. Si kodok pun
belingsatan, sampai akhirnya terbiasa dan nyaman. Begitu terus menerus. Si kodok
selalu berusaha menyesuaikan dengan perubahan temperatur, dan tetap adem ayem
walau suhu sudah bertambah gerah. Si kodok selalu beradaptasi. Hingga pada
akhirnya si kodok itu mati terebus air mendidih karena hewan itu sudah terlalu
terbiasa mengadaptasikan diri dan menerima keadaan sampai-sampai lupa meloncat
ke luar panci.
Bagaimana
menjelaskannya kalau air matamu sebentar ini hanyalah masalah aku kodok. Aku
kodok yang keluar dari dalam pancinya bahkan sebelum airnya mendidih. Entah
karena aku tak bisa atau malah takut mati rasa karena terlalu terbiasa. Walau
begitu, sebenarnya, aku jauh lebih merasa bersalah. Maafkan aku Tem. Maukah
kamu menjadi kodok bersamaku?
Padang, Asrama 7 Apr
Komentar
Posting Komentar