Cita-Cita
“Cita-citanya apa Buk?” terdengar
suara dari depan sebelah kanan
“Huss, kan sudah tercapai, kok kamu masih nanya? Cita-cita ibuk
jadi guru la…h yeeeee” suara dari depan sebelah kiri
menyela
“Hoho, kamu benar tapi itu cita-cita Ibuk waktu kecil. Sekarang
sudah berubah,” ini suaraku
.
.
“Lho, memangnya sekarang apa Buk?” kini
suara berasal tepat di hadapanku.
“Amiiinnnnn,” semua suara beradu.
“Sekarang Ibuk yang bertanya, cita-cita kalian apa?” kepalaku
menoleh kepada semua siswa.
Keheningan
seketika menyergap seisi kelas. Kulihat pancaran mata yang sama sekali tak
ingin kulihat. Aku tersenyum pura-pura tidak memerlukan jawaban. Tak lama
kemudian,
“Bisa sekolah Buuuuuk, ada ongkos untuk ke sini,” ketiganya
serempak menjawab.
Ya, siswaku yang
datang tiga orang saja. Tujuh belas lainnya memunculkan berbagai kemungkinan
yang salah satunya adalah tidak tercapainya cita-cita mereka yaitu ongkos untuk
datang. Tak enak suasana kaku berlama-lama segera saja kumulai pembelajaran
untuk mengalihkan pembicaraan. Mereka belajar penuh semangat. Menjadi gurupun
terasa begitu nikmat. Ini berkat mereka.
Bunyi Tuuuut
panjang kereta api yang melintasi rel sepanjang Lubuk Buaya pada waktu
menjelang Maghrib berbunyi. Itu merupakan lonceng tanda berakhirnya sekolah. Di
jalan pulang tak henti aku berdoa. Semoga cita-citaku tercapai, Amiiin.
Padang, 5/5
Komentar
Posting Komentar