Stoilovemetri
Edisi Khusus Jalan-Jalan
Jika
di kimia punya stoikiometri, aku pun tak mau kalah. Aku perkenalkan
stoilovemetri. Hahaha, tawaku ala nenek lampir sambil tetap mencoba konsentrasi
pada rumus-rumus, angka-angka dan bagan-bagan yang tertera pada layar laptopku.
Ini perihal LKS stoikiometri yang kurancang dengan menerapkan komponen contextual teaching learning (khekhe,
keren sekali bukan? tapi ntah apa-apa). Sebagai informasi, aku mengerjakannya
sampai sepertiga malam yang hening. Mengingat besoknya jalan-jalan, aku harus
sudah lepas dari jeratan stoikiometri. Cukup stoilovemetri yang menjeratku. Batusangkar,
I’m coming.
Kalau
stoikiometri adalah perhitungan kimia yang bergulat dengan kuantitas komposisi
dan reaksi kimia zat, stoilovemetri adalah perhitungan cinta yang magis. Tanpa
rumus matematis tapi bisa didapatkan hasil yang cukup klinis. Kalau
stoikiometri bermula dari konsep mol, stoilovemetri bermula dari konsep nol.
Nol
yang berdiri sendiri berarti tak ada. Sedang bila digabung dengan angka lainnya
barulah dia menjadi ada. Di kancah stoilovemetri ini, aku memperhitungkan
diriku sebagai angka nol, tidak ada kala sendiri. Namun, ketika aku memiliki
sesuatu yang kucintai, barulah aku merasa ada bahkan sebanyak yang tak kukira.
Kata temanku, aku mempunyai kebiasaan aneh. Terlalu fanatik mencintai sesuatu.
Aku rela mendengar satu saja lagu yang kusuka berulang-ulang seminggu lamanya.
Menangis terisak-isak jika ada yang menghina Ganto, hati keduaku. Marah menggebu-gebu jika Naruto, Conan, Doraemon
dan penulis favoritku disepelekan. Dan berbicara yang buruk tentang
Batusangkarku, hatiku bisa meradang.
Kadang
aku bertanya, siapa aku harus sebegitu marah? Jawabannya ternyata ada di
stoilovemetri. Aku adalah angka nol yang dikalikan dengan angka terbesar
sekalipun hasilnya tetap saja nol. Sebesar apapun aku mencintai hal tersebut,
aku kembali kewujudku semula yaitu tak ada. Ternyata mencintai membuatmu ada
meski cinta itu sendiri selalu bergerak menuju ketiadaan.
Padang, 14/5
Komentar
Posting Komentar