Malam Minggu yang Berharga


Edisi Khusus Jalan-Jalan
            Aku menyukai jalan-jalan sesuka aku menyukai buku. Kemana saja, asalkan bukan tempat yang pernah kukunjungi. Namun, ada kalanya tempat yang sama perlu dikunjungi berkali-kali tergantung bersama siapa aku pergi. Seperti sabtu lalu, aku dan teman sekelas PPG kimia jalan-jalan melalui rute Padang-Solok-Batusangkar-Bukit Tinggi-Padang Panjang-Padang. Kami berlapang-lapang empat belas orang dalam dua mobil, enam belas tepatnya termasuk supir. Tempat yang biasa tentunya bagiku namun berbeda dengan teman sekelasku yang berasal dari Medan dan Aceh. Kuberharap, semoga alam Sumatera Barat memberi kesan tersendiri bagi mereka.

            Aku menyukai jalan-jalan walau tidak semua jalan-jalan akan selalu menyenangkan. Sama seperti membaca, tidak semua alur cerita membuatku terkesan dan menyenanginya. Bahkan aku pernah uring-uringan, galau, terluka sendiri karena penulis favoritku tidak menulis cerita sebagus cerita sebelumnya. Walau begitu, aku tetap menghargai semua hal yang kualami meski tak menyenangkan sekalipun.
            Seperti jalan-jalan kali ini. Ada beberapa hal yang tidak menyenangkan. Tak perlu kuceritakan banyak karena semua ketidaksenangan itu langsung menguap di udara ketika jalan-jalan kami terhenti dengan sengaja di Jam Gadang Bukit Tinggi. Awal tiba, bagiku malam minggu di Jam Gadang masih sama seperti malam minggu yang juga pernah kunikmati bersama teman-teman kuliahku dulu di sini. Ramai dan sesak oleh muda-mudi yang berjalan bergandengan, anggota keluarga yang berfoto dengan badut-badut serta sekelompok orang yang sekedar duduk-duduk di taman.
            Namun, semakin dalam kuberjalan. Aku mendengar musik yang begitu indah dipadu dengan suara yang tak kalah merdu. Sang penyanyi waktu itu melantunkan lagu Minang yang aduhai. Untuk saat yang lama aku terkesima bin terpesona. Siapa penyanyinya? Aku mencoba mencari-cari arah suara yang sepertinya berasal dari kumpulan orang-orang yang berdiri berkeliling. Sekuat tenaga aku mencoba menerobos kerumunan. Di sela-sela barisan aku melihat ke tengah namun sang penyanyi tetap tak tampak batang hidungnya. Aku mencoba menerobos terus ke depan dan yang kulihat adalah sebuah kotak besar seperti kotak amal yang bertuliskan “terima kasih atas sumbangan anda”. Aku menatap sekeliling. Sang penyanyi ternyata berdiri di belakang pemain keyboard. Seketika mataku tertuju kepada bapak yang memainkan keyboard. Ternyata dialah bintang dari pergelaran musik ini. Kedua mata bapak itu buta namun dia mahir memainkan tuts alat musik hitam putih tersebut.
            Sang penyanyi yang berhasil membuatku jatuh hati tadi ternyata hanyalah salah satu penonton yang ingin menyalurkan hobi dan bakatnya sekaligus memeriahkan malam minggu. Bapak bisa memainkan lagu sesuai keinginan penyanyi. Selama bernyanyi, beberapa pemuda berjoget-joget ria dan beberapa penonton lainnya memasukkan uang ke dalam kotak besar tadi. Aku pun seperti terpaku berdiri demi menikmati pergelaran. Sepertinya aku lupa baru saja menaiki tangga Great Wall sampai ke puncaknya.
Sebenarnya aku tak hanya takjub karena acaranya. Tetapi juga hal lain yang sudah cukup lama menjadi keraguanku. Aku merasa Tuhan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sering namun tak kunjung terselesaikan. Yup, bapak ini adalah jawaban dari pertanyaanku. Bahwa apapun kekurangan dalam diri kita tak ada alasan untuk tak berusaha. Tak aku saja, mungkin kita semua hampir tiap hari bertemu dengan peminta-minta di trotoar, tempat wisata, jalan raya, pasar, kafe dan sebagainya. Ada yang kakinya buntung, tubuh cacat, anak yang sakit, buta dan sebagainya. Siapa yang tidak iba. Namun, memberi hanyalah jalan bagi mereka menghalalkan mengemis sebagai jalan hidup. Mungkin jawaban yang sering kita dengar adalah niatkan saja sedekah. Jika begitu, tidakkah kita sama saja membiarkan mereka keenakan meminta-minta. Aku ingat temanku pernah bercerita tentang nenek tua yang gigih berjualan tanpa dia tahu barang dagangannya sudah kadaluarsa. Usaha ini tetap dia lakukan daripada menjadi pengemis. Orang seperti ini patut kita apresiasi seperti Bapak pemain keyboard.
Tiba-tiba temanku sudah berdiri di depanku membawa nasi bungkus yang akan kami makan bersama. Bersamaan juga dengan seorang bapak paruh baya yang ingin menyanyikan lagu Cinta Hitam tempo dulu menggantikan penyanyi idolaku tadi. Aku pun berbalik meninggalkan tempat. Terima kasih Pak, sudah menyuguhkan malam minggu yang begitu berharga, ucapku dalam hati.
Padang 13/5

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online