Saya Akan Menikah


            Aku tertegun menatap nanar ke arah jendela usai membaca salah satu pesan di facebook. Antara bingung dan curiga, aku mengawang-ngawang tak tentu arah. Pesannya sangat sederhana,
“Saya akan menikah.”
Dia mengirim pesan persis setelah aku update status. Jelas sekali ia menunggu kepastian aku OL atau tidak karena seperti biasa aku tidak suka menghidupkan chatku.
            Kenapa?”
Ini dia yang aku herankan. Mengapa aku malah bertanya kenapa? Tidakkah aku seharusnya mengatakan alhamdulillah, senangnya, cihuyyy, yeeee?
“Apakah kau siap menikah?”

Glek, aku menelan ludah, aku berfikir beberapa menit, sebuah peluru siap diluncurkan.
“Menurutmu?”
Hwaha, sepertinya ini akan menjadi dialog tanya yang panjang. Aku membatin.
“Kapan kau siap menikah?”
Dia bertanya lagi, aku mulai jenuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak jelas muaranya. Aku pun menjawab dengan mantap.
“Aku tidak tahu. Sekarang kamu, kenapa kamu akan menikah. Bisakah kamu tunjukkan pembicaraan ini ke jalan yang lurus?”
Aku begitu tak sabar.
            Yap, saya akan menikah. Itulah jalan yang lurus. Tapi pikiran saya merasa tak lurus.”
Aku mengenal dia dengan baik. Sampai dia memutuskan menjadi penulis meski dari jurusan science, aku makin mengenalnya dengan baik. Dia satu-satunya sosok yang membuatku iri setengah mati. Karena dia tegas memilih apapun yang dia sukai. Membaca dan menulis yang merupakan kegemarannya dinikmati dengan bebas tanpa intervensi dari hal-hal yang tidak begitu dia senangi.
“Mengapa kamu merasa tak lurus? Bukannya kau ahli dalam urusan pilih memilih? Apalagi ini perkara jalan hidupmu?
Hmm, sepertinya itu jawaban sekaligus pertanyaan yang paling bagus yang bisa kulontarkan. Maklum saja, jalan hidup siapa yang tahu. Setiap pilihan pasti ada resikonya.
            “Menurutmu apa saya seahli itu?”
Hoalah, pertanyaan apa ini? aku jadi bingung sendiri. Apa mungkin aku menjawab dengan shalat istikharah atau tahajud dahulu jikalau dia sebegitu bingungnya. Meski aku sudah membaca bukunya, aku yakin dia sudah terlebih dahulu membacanya dariku. Aku harus jawab apa?
“Tentu saja, kau sudah menunjukkan keahlianmu pada pesan yang pertama, kau cukup menunggu kalimat yang sama dariku,”
Tak sadar, pembicaraan kami via dunia maya sudah memasuki sepertiga malam. Mataku sudah tak tahan minta segera tidur. Kutunggu balasan pesan darinya yang ternyata hanya satu kata
            “Kapan?”
Hoamp, mataku tak bisa lagi kompromi. Kututup pembicaraan
            “Aku tidur dulu, Good Night”
Padang 3/5

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online