Kopi Kawa, Gaji Pertama dan Setan

Ketika seisi dunia berkonspirasi agar kau mengalah dengan mimpimu, apa kau akan menyerah?

Aku membuka amplop putih itu dengan tangan gemetar. Kendati jemariku tidak seperkasa biasa, mereka tetap berusaha melepas tutup amplop berperekat yang membuat amplop itu tertutup rapat. Maklum, ini gaji pertamaku. Walau bukan hitungan pertama. Aku merasa masih perlu beraksi luar biasa. Karena nyaliku sedang diuji. Nama baikku sebagai anak yang mandiri dan berani sedang dipertaruhkan. Ditambah lagi pertanyaan mampukah Santi menyelesaikan yang telah dia mulai? Tak henti berlari-lari mengitari kepalaku. Gak capek apa?

Taraaaa.... amplop itu pun terbuka. Aku menghitung lembar demi lembarnya hingga mataku berkedip-kedip dalam hitungan tak beraturan. Secara reflek, pertanyaan mengerikan yang sibuk wara-wiri tadi berganti dalam sekejap. Ganti teks jadi Mampukah Santi bertahan? Sepertinya pemenang adalah mereka yang bertahan adalah jawaban yang sulit diucapkan untuk saat ini. Hei...apa ada yang bertanya tentang nominal yang sedang kulihat. Ishhh, sudah siap jadi umpan hiukah? Astaghfirullah, Santi keep calm Please. Tak ada yang lebih baik dari bersyukur bukan? Hhh, untung saja aku dalam wujud peri baik datang menunjukkan arah yang benar.



Betewe, akan kuapakan gaji pertama ini? Bagaimana kalau kumuseumkan? Agar kenangannya lengket kayak perangko gitchu. Tapi apakah itu pernah dilakukan manusia lain? Kok jadi terkesan norak gitu yak? Oooh aku tahu, lebih baik aku mentraktir semua anggota keluargaku. Biar terasa gitu gajiannya. Untung saja Nika dan Haris tidak di rumah. Jadi traktiranku bisa berkurang sedikit. Khikhikhi, leganya.

Aku pulang dengan tampang sumringah. Berhubung tujuanku pulang kali ini hendak melangsungkan acara yang istimewa. Aku pun mengganti beberapa ritual kepulanganku dengan gaya yang juga istimewa. Biasanya tiba di rumah dibuka dengan salam, kini ditambah dengan Spadaaaa. Masuk ke dalam rumah bukan lihat makanan, tapi langsung beres beres barang dan badan dengan elegan. Sialnya, mama dan adikku sama sekali tidak terpengaruh dengan aura berbeda yang kutampilkan. Toh mereka biasa-biasa saja. Malah sibuk sekali menjawab pertanyaan Tukul Arwana, seolah pemain beneran di Family 100. Hiks, tak dihiraukan itu menyedihkan saudara-saudara.

“Ehmmmm,,, aku sudah pulang lo,” sapaku dengan terheran-heran.

“Yop yop, tahu kok...” jawab mereka dengan nada amat sangat biasa.

“Hmm, I’m here, look at me please,” kali ini dengan suara melengking

“Ishhhh,,,iyo iyo...dek apo lah si Santi ko ko?” jawaban ini hanya dengan nada rendah.

Pelajaran berharga kali ini. Jangan banyak gaya ketika menonton Family 100. Oh bukan bukan. Pelajarannya adalah utarakan maksud istimewa yang kau rencanakan terlebih dahulu agar gayamu tidak sia-sia bahkan sampai garing dan mati gaya, kassiiiannn. Yeee lah kalo macam tu. Aku pun bertanya dengan baik dan benar.

“Ma, Sa, Ntar malam kita makan malam di luar yuk, Anty yang traktir,, gaji pertama nih, hehe,”

“Wahhh, mang gaji Titi berapa?” dengan tampang polos unyu unyunya.

Ish ish, apa apaan Nisa ini. Sabar Nti, sabar. Jangan jadiin umpan hiu ya. Hehe gak mungkin lah. Eitss..kok jadi bicara sendiri.

“Haha, mang gaji Anty berapa?” kali ini suara Mama.

“Ada laahhh, nanti kita diskusiin sama Papa ya”

Tak berapa lama Papa sudah ada di belakang kami.

Dan ciat ciat ciat. Runding demi runding. Mengingat dan menimbang dengan ditingkahi seloroh tak penting akhirnya diputuskan, malam ini kami akan makan malam di Kopi Kawa Daun. Tok Tok Tok. Palu di ketok 3 kali.
Sebelum pergi, seperti biasa, Papa akan menyiapkan mobil dan Mama mencari-cari dompet yang lupa dimana beliau taruh sebelumnya. Menyadari itu akupun pasang tampang sok aksi.

“Ma, gak usah bawa dompet ya dan Papa pastikan kantong Papa gak ada uang, Dan satu lagi, Sa, nanti pesan yang mahal ya”

“Iiihhhh Titi setan” tiba-tiba Nisa nyeletuk santai.

Setan? Whatz? Bagaimana bisa Nisa menyebutku setan tanpa berkedip atau sekurangnya berkerut pipilah. Nisa menyebutku setan seolah sedang menyebut bajuku kotor.

“Lho, kok setan Sa? Titi Shalat lho”

“Bukan gitu Ti, kata guru agama Sa, Setan itu singkatan dari Sombong, Engkar, Takabur, Angkuh dan Nakal. Tadi Titi kan sombong, berarti Titi sudah berubah menjadi Setan,”

Ckit. Aku tercekik diam tanpa kata. Benarkah aku sudah berubah jadi setan? Tiba-tiba aku kembali mengulang berfikir tentang jejak-jejak hidup yang susah payah kutapaki. Tentang aku yang bosan dengan hidupku. Lelah dengan siswa-siswa yang tidak peduli dengan pelajaranku, dan 1001 tingkah ngeselin mereka yang membuatku merasa gagal mempertanggung jawabkan mimpiku. Ditambah teman sejawat yang tidak seide. Dan aku mengutuk sepanjang waktu. Aku mengeluh sampai berpeluh. Dan seisi dunia seolah bersatu padu untuk menjatuhkanku. Kini beritahu aku, dimanakah tempat tertinggi di kota Padang ini? (hooo becanda)

Ya, ya, ya bertahan adalah solusinya. Aku juga sudah ditempa untuk bisa bertahan. Di samping alasan hakiki kita untuk hidup, kita tentu punya alasan kuat lainnya untuk tetap bertahan di kondisi terburuk apapun. Bagiku alasan itu adalah rasa cemas orang tua. Tak ada hal terburuk yang paling mengerikan dibandingkan dengan membuat orang tua cemas akan hidup kita. Itulah yang selalu kulakukan. Menghapus cemas itu.

Namun, manusia punya titik lemah yang membuat semua terasa susah. Yaitu berburuk sangka. Di saat dunia tidak berpihak pada kita. Kita mengeluh sepanjang waktu. Sehingga menutup hal-hal baik yang terjadi bahkan yang akan terjadi. Sangkaan yang buruk tanpa disadari akan membentuk takdir kita. Aku tahu hal itu tapi aku tetap berburuk sangka. Bagaimana aku bisa terus melangkah jika yang kupikirkan hanya bagaimana untuk menyerah? Benar kata Nisa, sepertinya aku sudah berubah menjadi setan. Berburuk sangka datangnya dari setan bukan? Terima kasih Nisa, celetukan itu membuat kakakmu yang imut dan galau ini menjadi sadar seketika.

Berbaik sangkalah.

Dunia berputar, Tem. Tak usah cemas. Belum kiamat bukan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online