Pulau Pasumpahan Part 1

Ambil gambar dari sini
Jika aku boleh memilih. Aku lebih suka liburan ke tempat yang tidak ada pantai atau lautnya. Namun, Tuhan selalu memberiku kesempatan ke daerah seperti itu. Laut memang indah, sangat indah malah namun aku tidak begitu menikmatinya. Mungkin karena aku hanya bisa memandangi laut di saat banyak orang datang untuk berenang dan menyelam. Ya, aku tidak bisa berenang dan tidak menikmati baju yang basah-basah karena air. Paling aku hanya berlarian di tepian dan hanya membiarkan air menjalari kakiku sampai di mata kaki lebih sedikit. Itupun hanya menyenangkan dalam lima menit pertama. Setelah itu aku bosan. Lantas bermenung-menung ria di tepian sambil menyaksikan teman-temanku yang tengah berenang.

Namun bukan berarti aku menghindari pantai hanya karena tidak begitu menyukainya. Setiap ada kesempatan melakukan perjalanan, tak ada alasan untuk membuang kesempatan itu. Satu kesempatan yang tergilas, jarang akan menetaskan kesempatan kedua. Karena perjalanan bukan hanya tentang tempat yang dituju tapi juga tentang manusia dan pelajaran yang dipetik dari keduanya. Setiap perjalanan memungkinkan manusia bertemu dengan orang-orang baru dan kejadian-kejadian di luar rutinitasnya.


Namanya Pulau Pasumpahan di perairan kecamatan Bungus Teluk Kabung. Pulau ini berada sekitar 200 meter dari Pulau Sikuai. Kata teman-teman, objek wisata di Pasumpahan adalah wisata pantai pasir putih dan terumbu karangnya yang terpelihara.

Jujur saja, aku baru mendengar kalau ada pulau yang bernama Pasumpahan di kota Padang. Ajakan ini datang dari salah seorang anggota Bacpacker Dunia Sumatera Barat (BDSB) 10 November lalu. Aku langsung mengiyakan walau konser Coboy Junior  dihelat di kota Padang pada hari yang sama. Kami mengeja nama pulau itu sekali lagi, Pasumpahan bertepatan dengan Hari Pahlawan saat kami melakukan perjalanan. “Kita perlu disumpah pada hari Pahlawan ini teman-teman,” kelakar salah satu anggota yang disambut gelak tawa lainnya.

Kami pergi sekitar 20 orang. Ada yang berasal dari Kerinci, Medan, Banjarmasin, dan Pulau Jawa. Awalnya aku dan temanku sangat canggung berkenalan dengan mereka. Namun seiring berjalannya waktu, kami pun saling mengenal dan itu menyenangkan.

Perjalanan dimulai dari Simpang Haru menuju Bungus dan lanjut ke desa Pisang. Memasuki desa Pisang kami harus melalui jalanan yang sangat ekstrim sekira 15 menit. Pendakian terjal disambut penurunan berkelok. Jalanan yang ditempuh itu belum beraspal. Tanah licin bertabur bebatuan dan banyak lobang di badan jalan. Jika tidak lihai dan hati-hati, siap-siaplah jatuh bangun. Aku menyerahkan kemudi ke Aria. Ia berasal dari Kalimantan. Di sepanjang jalan, dia berseru-seru Astaghfirullah. Tak terbayang jika aku tinggal di desa itu. Mungkin aku lebih memilih mengisolasi diri di dalam kampung dari pada menempuh jalan sengeri itu.

Alhamdulillah kami selamat sentosa sampai di kampung Pisang. Di sana, kami disambut oleh sepasang Bapak Ibuk yang menyediakan perahu untuk mengantarkan kami ke Pulau Pasumpahan. Pulau ini sekira 10 menit menggunakan perahu dari Sungai Pisang. Bapak dan Ibuk sudah tua. Kira-kira mereka berumur lebih dari 55 tahun. Namun keduanya kuat menarik-narik perahu ke tepian kala perahu merapat atau mendorongnya ke tengah kala perahu akan berlayar. Mereka berdua sangat kompak. Malah mereka memanggil dengan sebutan Ayah Mama. Ibuk cerewet dan penuh kelakar sedang Bapak pendiam. Mungkin karena itulah mereka dipasangkan bersama untuk saling melengkapi.

Kami menitipkan sepeda motor di rumah mereka. Aku lihat rata-rata rumah di tepi pantai rendah dan terbuat dari kayu. Tak terkecuali rumah Bapak Ibuk. Kata Ibuk kalau rumah dibuat tinggi, akan mudah roboh karena angin pantai. Selain itu, rumahnya sengaja dibangun rendah agar siapapun orang yang masuk ke sana diharapkan kejedot atap sehingga Ibuk tahu bahwa yang masuk rumah pasti bukan Bapak. Bapak hanya tersipu mendengar kelakar Ibuk dan menambahkan. “Iya...Bapak memang pendek.”

Rumah Bapak dan Ibuk terbuat dari kayu, kecil dan rendah. Untuk ke luar dari kampung itu pun harus melewati jalanan yang ekstrem. Namun keduanya kulihat senang-senang saja. Segera aku malu dengan keluhan-keluhan yang kulontarkan nyaris setiap hari. Sebenarnya tidak ada hidup yang berat jika dijalani dengan sepenuh hati. Hidup bukanlah tentang bagaimana menghabiskan masa yang tersisa tapi tentang bagaimana kita menjalani setiap detiknya dengan usaha dan penuh rasa terima.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online