4# Surat Untuk Kekasih

Apa kau pernah membenci temanmu? Seperti aku saat ini. Dia adalah teman yang kukenal lama. Tapi perangainya membuatku kesal. Terasa deras saat kemaren aku bertemu dengannya. Seketika separuh kebahagiaan yang kumiliki hari itu lenyap begitu saja. Bagai diserap segitiga bermuda.

Bukan, dia bukan monster. Monster lebih baik darinya. Setidaknya monster tidak membuatmu mengutuki masa lalu, hari ini bahkan mengutuki diri sendiri. Bisakah kau bayangkan, bagaimana dia bisa saja menyakitimu walau dia hanya diam saja di suatu tempat. Puh, betapa beratnya pekerjaan itu.



Bagaimana? Apa kau juga sedang membenci temanmu? Kata orang, jodoh adalah cerminan diri. Kita hanya bisa mendapatkan apa yang pantas kita dapat. Bak bayangan diri sendiri. Sengaja kutulis surat ini agar kau tahu bahwa aku memiliki sikap konyol dan menyedihkan. Tentu saja ini bukan tidak beralasan. Temanku itu punya satu dosa besar yang tak bisa diampuni. Yaitu menjadi temanku. Andai bukan, mungkin tidak akan seribet ini urusannya. Bayangkan saja, sedikit saja terlintas namanya di benakku, apapun yang terlihat menjadi terasa menyebalkan.

Benci juga pekerjaan hati bukan? Siapa yang tidak bermain hati dengan temannya sendiri. Dan siapa yang akan dengan mudah menghancurkanmu kalau bukan temanmu sendiri. Pekerjaan hati tidak memiliki ukuran keberhasilan yang pasti. Hanya saja, kala kau mencintai seseorang, berarti di saat itu, benci sedang berada tepat di depan batok kepalamu. Tak salah kata pepatah, benci dan cinta jaraknya tipis sekali.

Kasih, suatu saat nanti pasti kita akan merasakan hal yang sama. Karena kala kita sudah bersama, maka di saat itu aku sudah berhenti berbicara tentang hidup yang aku alami. Begitupun denganmu. Kamu bukan lagi satu cerita dan kita bukanlah satu pikiran. Kita akan dihadapkan pada dugaan, ego, emosional dan sensitivisme yang membuat semua hal menjadi tidak masuk akal. Aku dan kau bukanlah manusia sempurna yang tidak mudah digoyahkan. Ada kalanya kita sama-sama tumbang dan saling menyalahkan.

Aku harap sebelum semua itu terjadi. Aku ingin kita sama-sama mengulang membaca surat ini. Untuk mengingatkan kembali bahwa pertemuan dan kebersamaan kita bukanlah semata tentang kau dan aku. Atau kau, aku dan orang di sekitar kita. Itu hanya secuil dari tujuan besar yang sama-sama ingin kita gapai. Tidakkah kau terkadang bertanya apa perlunya manusia punya pasangannya sendiri-sendiri. Toh sendiri seperti sekarang, mereka juga bisa baik-baik saja.  Apa perlunya kita menerima bahkan mencintai orang asing yang tak sedarah. Itulah rahasia dan kuasa Tuhan, Kasih. Ada hal yang tidak bisa kita lakukan sendiri. Yaitu meraih cinta-Nya. Salah satu dari kita adalah tongkat dan sayap satu dari yang lainnya. Bersama menapaki hidup yang semakin tinggi semakin menanjak. Mendayung perahu di lautan yang makin berombak. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk menggapai Ridho dan maghfirah-Nya.

Kalau memahami itu, apapun permasalahan yang kita alami akan selalu bertitik terang bukan? Kita harus saling mengingatkan bahwa ego, emosi, sensitivisme bahkan benci itu sendiri hanya kerikil kecil yang tidak ada apa-apanya dibanding tujuan besar kita. Bagaimana, kau setuju?

Namun, tentang teman yang kubenci tadi. Tak kusesali sedikitpun, Kasih. Tanpa benci, orang jadi tak bisa mengenal cinta bukan? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online