Taman Bermain

Horeeee. . .di kampungku sudah ada taman bermain. Inilah jadinya kalau tidak tahu menahu dengan perkembangan kampung halaman. Kapan munculnya, aku tak tahu sama sekali. Baru kemaren sore aku tahu karena diajak Annisa untuk bermain ayunan di sana. Mulanya aku tidak percaya dengan cerita Nisa yang terlihat bangga luar biasa. Ia menceritakan pengalamannya dengan sangat utuh sekaligus menuntut kesabaran tingkat tinggi dariku. Ternyata oh ternyata. Annisa benar.

Aku terpesona dengan taman bermain yang sebenarnya tampak biasa ini. Hanya saja berhubung terletak di kampung kami, aku cukup berbangga hati. Ada sekira 4 set ayunan dengan 3 ayunan tiap setnya. Mereka memiliki ketinggian berbeda-beda tergantung peruntukannya. Satu set dikhususkan untuk balita karena ukurannya yang kecil, rendah serta memiliki sandaran. Sedangkan dua lainnya untuk anak-anak, remaja bahkan dewasa pun juga diperbolehkan. Seperti yang kulakukan saat ini. Walau ayunannya banyak, banyak juga anak-anak yang tidak kebagian. Karena di sore hari, taman bermain ini ramai sekali. Anak yang tidak berayun bisa bermain lore yang sudah dilukis di lantai depan ayunan. Di sana mereka berkenalan terlebih dahulu sehingga bisa bermain bersama.



Membangun taman bermain jauh lebih keren ketimbang taman bunga. Karena kita tidak akan menemukan pasangan muda mudi yang asyik bersudut-sudut ria di balik pepohanan rimbun. Melainkan bapak yang penuh kasih mendorong ayunan anaknya pelan-pelan. Seorang ibu yang memangku anaknya di ayunan karena anaknya belum bisa berayun sendiri. Masih bayi soalnya. Ada juga kakak yang dengan sabar menemani adiknya berayun sambil membaca buku di ayunan sebelah, hehe. Serta beberapa orang tua beserta keluarga duduk-duduk di bukit penuh rumput belakang ayunan sambil memandang langit senja yang menawan.

Adikku dengan lincah berayun setinggi-tingginya. Aku tergoda mengikuti. Dan yap...aku pun berayun dengan penuh tenaga sampai kulihat teman SD-ku tersenyum ke arahku. Tangan kanannya menggendong bayi dan tangan kirinya membimbing anak usia lima tahunan. Aku tersenyum balik ke arahnya sambil menghentikan laju ayunan. Kini aku sibuk memperhatikan sekitar dengan lebih seksama. Ternyata banyak wajah yang kukenal. Ada teman sepermainan, bahkan adik kelasku dulu bersama suami dan anak-anak mereka. Sesegera mungkin aku kembali membaca buku di tangan. Langsung terbuka halaman yang menuliskan “Dimana ada harapan, disitu ada cobaan,” Handeh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online