Your Dying Heart
Seorang
teman memintaku memberi komentar tentang musik ini. Dia pecinta musik beraliran
Ghotic. Lama aku mengacuhkannya karena sinyal di rumahku sangat buruk. Baru
kali ini aku bisa memberi komentar yang mungkin sudah sangat basi. Aku mendownloadnya
hampir tengah malam ketika aku membaca buku yang juga bertema perpisahan. Ini
cukup mengerikan karena aku berada dalam sebuah kamar nun di lantai 4 sana,
dalam bangunan 5 tingkat dan ratusan kamar dengan jumlah penghuni yang mungkin
hanya berkisar 50 orang saja.
Sejatinya, aku bukanlah tipikal
orang yang suka keramaian. Hanya saja, aku suka galau jika tidak mengganggu
orang dan tidak belanja camilan. Hehe, mungkin salah satu teman sekamarku paham
sekali yang sedang kubicarakan. Aku pikir aku akan menjadi musafir nomaden jika
di Padang nanti, sebelumnya tolong coret hotel sebagai tujuan pengembaraanku.
Namun melihat kotak sabun dan lantai kamar, aku mengurungkan niat. Setidaknya
aku bisa menghidupkan kenangan sehingga aku tak perlu merasa sendiri, tahan
hatiku.
Tit, sebuah sms masuk. Sudah mandi? Bunyi smsnya. Oh God, untung aku tidak punya pacar. Betapa
menyebalkannya sms serupa ini. Hanya nomor, mungkin salah sambung. Mandi bukan
hal yang seru lagi sobat. Aku tak perlu berjongkok lama dan menyaksikan kotak
sabun berderet-deret di depan pintu masuk kamar mandi. Apalagi kalau yang mandi
adalah Kak Nailil dengan handuk pinknya. Aku rasanya lebih suka disuruh
menggali sumur. Tapi kalau Kak Ya yang kutunggu, kutinggalkan sumur yang sudah
kugali tadi. Menunggu kak Ya mandi merupakan hal melegakan dalam hidupku
setelah mengganggu Liza.
Kuputuskan untuk tidak mandi. Aku
minta film saja. Untunglah aku sedikit tahan untuk malu-maluin. Aku sok akrab
sok dekat dengan penghuni asrama yang masih tersisa di lantai 4. Huft, aku
hanya mendapat satu film saja. Kak Hilma, sebagai pemasok film di sektor 4 B,
kakak harus membayar mahal untuk hal ini. Sekali kedip saja pasti sudah tamat
kutonton. Lebih baik aku say hello
dengan bunda dan satpam di bawah.
Aku menuruni tangga dengan tenang.
Tidak seperti biasanya. Aku berjalan tak perlu lagi merapat ke arah tembok.
Malah aku menggenggam besi hitam itu dengan erat sekali. Kalau perlu aku
meluncur di pegangan tangga bak di film-film India. Si usil Kak Kartika sedang
hibernasi di rumahnya. Dia tak bisa lagi menakut-nakutiku dengan cerita roh-roh
penghuni asramanya. Di sudut mana sang roh suka berdiri mengamati kami dan
jalur apa saja yang digemari oleh roh-roh tersebut untuk bergentayangan.
Sejatinya aku bukanlah gadis penakut kecuali kalau ditakut-takuti. Sambil berjalan, aku menatap ke arah
kamarnya. Biasanya dia sudah berdiri di sana sambil melontarkan ribuan
ocehannya untuk mengusili kami. Sambil berjalan aku belajar bagaimana menangkis
serangannya. Ouch, ternyata selera humorku perlu ditingkatkan lagi. Tentu saja
di masa hibernasinya saat ini, dia kian meningkatkan kesaktiannya tentang hal
itu.
Waktu berbuka puasa hampir tiba. Aku
mengambil nasi di lantai bawah. Hmm tak semenarik dulu. Tak banyak keributan.
Segera aku isi absen (kali ini aku hanya mengisi satu tanda tangan saja mesti
abang itu menyuruhku mengisi semuanya) dan berlalu menuju kamarku. Tiba di
tempat menonton TV dekat kamarku biasanya aku sudah disapa oleh Kak Emma, Kak Erni
dan Kak Sep yang mengeluhkan betapa tidak enaknya makanan hari ini sama seperti
kemaren, kemaren dan kemarennya lagi. Mungkin sama juga dengan besok-besok.
Untuk masalah menu makanan di asrama, banyak penghuni asrama ini sukses menjadi
peramal yang mahir. Kupandangi makananku. Huft, sepertinya aku ke KFC saja.
Aku melewati kamar 406 yang lampunya
mati. Hanya ada kardus sandal yang tidak sepenuh biasanya. Tak ada suara aduhai
merdu kak Fatma yang cukup peduli padaku
dengan menanyakan hal-hal kecil tentangku. Contohnya, gak pulang kampung Nty?
sudah makan? sendiri saja, yang lain pada kemana?
Aku masuk ke kamarku. Meletakkan
piring tak lagi di lantai tetapi di atas meja. Akupun makan di atas meja. Huek,
aku membuang makananku kemudian pergi mencuci satu piringku. Tempat mencuci piring
masih sama jeleknya. Yang beda, aku menghapus aktivitas berkata, “cintaaaaaa uo
uo uo uo” sambil menghadap ke arah jalan. Entah bernyanyi entah berteriak,
terserahlah. Aku hanya berani melakukannya bersama-sama dengan Rivo. Satu suara
tak cukup riuh membuat orang di jalan menggumamkan betapa gilanya para guru penghuni
asrama ini.
Setelah itu aku menyapu kamar. Aih, kamar ini
menjadi makin besar saja. Aku kerepotan. Memegang sapu, aku serasa melihat kak
Julianti. Dia yang mengajarkanku bagaimana menyapu lantai yang basah dan banyak
rambut. Andai saja ada kontes menyapu. Hihihi.
Aku hampir menyapa semuanya melalui noteku ini. Kecuali oh ya, kak Riza yang
cantik dengan air mata dipipinya saat menonton film Malaysia. Dan Kak Siska
yang ingin sekali kukatakan padanya “serahkan boneka Conan itu kalau masih
ingin melihat matahari”. Apa kabar? Ini bukanlah sebentuk kerinduan namun
caraku menikmati kesepian. Kata orang putus cinta, kesepian merupakan separuh
dari kematian. Haha, orang putus cinta tak perlu didengarkan. Buktinya aku
menikmati separuh kematian itu dengan sangat takzim.
Aura kematian tak selalu mencekam. Seperti hari ini,
tak sedikitpun aku beranjak dari atas kasurku. Melakukan semua hal yang kusuka
seperti menonton dan membaca buku. Tanpa ada suara dari siapapun. Hanya alunan “your
dying heart” dari stereo laptopku yang membuat tokoh utama dari buku yang
kubaca mati di akhir cerita. Tak hanya aku, sepertinya “your dying heart” turut
mempengaruhi penulis buku ini.
Padang, 16 Juli
Komentar
Posting Komentar