Bapak, Ibuk dan Ceritanya
Cerita
ayah, matanya sudah 5 watt sehingga ayah menguat-nguatkan matanya karena bapak
pemilik rumah masih bercerita. Sang bapak meninggalkan istrinya di bilik biasa
mereka demi menemani ayah tidur di
lantai atas. Dari begitu banyak cerita bapak, yang ayah ingat jawaban ayah yaitu
oh oh oh yang kadang panjang, kadang pendek. Panjang panjang pendek. Pendek
pendek panjang. Tergantung bagaimana nada bapak bercerita. Ayah tak kuat
sebenarnya. Lelah usai perjalanan dari Selatan ke Barat Daya Aceh.
Esok
paginya aku bangun. Menuju kamar mandi yang diapit ruang nonton keluarga dan
dapur. Untuk mencapai kamar mandi, tak ada jalan lain selain melalui ruang
nonton. Aku berjalan malu-malu karena bapak dan ayah sudah duduk di depan TV
yang menyiarkan berita tentang hukum, kriminal dan HAM ditemani kopi pahit. Mereka
duduk berdua. Bapak mengomentari setiap berita yang ditayangkan. Ayah manggut
manggut dan ber oh oh panjang pendek. Raut wajah bapak berubah-ubah sesuai
bunyi komentarnya. Ayah ber oh oh lagi.
Keluar
dari kamar mandi, aku singgah duduk bersama bapak dan ayah. Bapak lantas
berdiri dan kembali lagi bersama teh manis hangat. Teh buatan siapa aku tak
tahu. Teh ini enak sekali. Perutku pun melupakan ketegangan dalam perjalanan
panjang kemaren bersama angkot L.300 plus
becak mini berpayung. Bapak mengajakku bercerita. Selingan cerita bapak setiap
bicara selalu saja perihal keterkejutannya bahwa aku seorang guru. Bagi bapak
aku cocok jadi siswa SMP. Kali ini, bapak memberikan beberapa tips agar aku tak
disepelekan siswa. Katanya aku harus menjadi sangar. Jangan lupa
menghardik-hardik dan membelalakan mata seperti ini. Bapak mencontohkan
bagaimana cara melotot yang baik kepada siswa. Bapak berkali-kali bilang
kecemasannya akan sifat murid SMA. Aku disuruh berhati-hati sekali. Kalau ada
apa-apa laporkan kepada bapak. Bapak orang tua kedua di tempatku berada. Ya Pak,
aku menimpali. Tiba-tiba teh ini menjadi lebih enak lagi.
Sebenarnya
banyak sekali yang bapak katakan. Dan paling aku ingat, setiap libur aku harus
datang ke sini untuk liburan. Bapak akan membawa aku jalan-jalan ke seantero
Aceh. Aku boleh mengajak temanku. Kuteguk lagi teh di hadapanku dan kemudian
ibuk datang membawa keripik pisang. Kini giliran ibuk yang bercerita. Semua
cerita bapak diulang ibuk. Bapak mesem-mesem. Tapi sepertinya ada yang lupa
bapak ceritakan. Tentang bagaimana bapak bisa menikah dengan ibuk. Kata ibuk
mereka dijodohkan. Bapak adalah anak dari paman ibuk. Jadi bapak adalah sepupu
ibuk. Ibuk menikah dengan anak mamaknya. Pulang ka bako, begitulah. Kami
bisa menikah karena tak pernah diperkenalkan oleh orang tua masing-masing. Ibuk
besar dan tinggal di Aceh Selatan sedangkan bapak di Medan. Kalau kenal,
mungkin tak jadi, ibuk tertawa terbahak-bahak. Bapak kemudian ikut menyela
pembicaraan kami. Bapak bilang itu adalah perjodohan kedua kali. Kali pertama
dijodohkan dengan ibuk, bapak menolak karena ibuk berkulit hitam. Tidak adakah
anak Amay yang putih? Pinta bapak
waktu itu. Ibuk tersinggung dan perjodohan pun batal. Bertahun-tahun kemudian,
entah apa yang terjadi, bapak ingat ibuk lagi dan minta dijodohkan lagi.
Giliran ibuk yang mesem-mesem. Tapi kata ibuk, cerita bapak memang benar.
Tambah ibuk, pada perjodohan ke dua, bapak bukan langsung meminta ibuk tapi
menanyakan kepada orang tua ibuk, mana anak perempuannya yang PNS. Berhubung
itu ibuk, jadinya kami menikah. Ibuk menyelesaikan kalimatnya dengan sangat
enteng.
Aku
mengunyah keripik pisang. Bapak dan ibuk juga. Sedang ayah khusyuk sekali
dengan berita di TV. Diam sejenak. Bapak bercerita lagi. Kini tentang bulu
kuduknya yang merinding bila mendengar pepatah petitih Minang. Ibuk ikut
nimbrung. Meski darah tertumpah dan menua di rantau, bapak dan ibuk sangat mencintai
Minang. Padahal, mereka baru sekali kemaren pulang ke Maninjau. Orang tua dan
orang tua dari orang tua bapak dan ibuk lahir dan besar di Aceh. Asal mula
darah Padang yaitu dari nenek moyang terdahulu. Mungkin nenek moyang edisi ke
dua. Meski begitu, bapak dan ibuk sangat fasih berbahasa Minang. Kendati penduduk
di Blang Pidie berbahasa Aceh. Oh ya, tiba-tiba bapak terkesiap, mari bergegas!
kita akan melancong ke Jeram dan Meulaboh. Belum pernah melihat topi Teuku Umar
bukan? Bapak dan Ibuk tersenyum puas.
Aku
dan ayah tidak punya hubungan darah dengan bapak dan ibuk. Kami bertemu
disebabkan adik laki-laki ibuk merupakan teman dekat adik kandung ayah kala
kuliah di Semarang. Usai wisuda, Pak Etek dan Om berpisah karena kembali ke kampung masing-masing. Kemaren, ayah dan
aku menginap di rumah Om tersebut. Om tinggal di Tapak Tuan. Dua hari kami menginap di sana. Om juga
membawa kami jalan-jalan ke Pangkalan Pendaratan Ikan, Batu Merah, Batu Hitam,
Pelabuhan Tapak Tuan, Kuburan Tuan Tapa, Tapak Tuan Tapa, Simpang Carano, kolam
renang Tapak Tuan dan menguraikan setiap lokasinya sesuai legenda. Om juga
membawa ayah ke beberapa acara khas Tapak Tuan seperti peukan rame dan kenduri
sembari menjelaskan bagaimana tradisi masyarakat setempat dan membandingkannya
dengan yang berlaku di kota Padang. Om juga membawa ayah bertandang ke rumah teman
Om yang nenek moyangnya juga berasal dari Padang. Om ingin sekali ayah tahu
banyak tentang Tapak Tuan. Setiap berbicara perihal bahasa Tapak Tuan dan
Minang, wajah om berseri-seri.
Bagaimana
kami bisa sampai di rumah Bapak dan Ibuk? Kala itu, ibuk menelpon om. Menanyakan
om sedang melakukan apa. Om menjawab sedang menerima tamu dari Padang. Om
bercerita gegap gempita. Jadilah, bapak dan ibuk mendesak om agar kami juga
dibawa ke sana. Di rumah bapak dan ibuk lah kami sekarang. Tak sulit menemukan
rumah bapak dan ibuk karena letaknya dekat dengan terminal dan pasar Blang Pidie.
Ditambah lagi, bapak dan ibuk bergantian menelpon setiap 10 menit demi melacak
posisi kami. Tak sulit juga mengenali ibuk karena ibuk mirip sekali dengan om.
Ibuk layaknya om yang dipasangi jilbab saja. Haha.
Kami
semua sudah siap berkemas. Kecuali aku dan ibuk. Aku menolong ibuk dulu memasukkan
nasi, sambal, sayur dan gulai ke dalam rantangnya masing-masing. Sepagi tadi
ternyata ibuk sudah selesai memasak masakan ala Padang. Gulai pucuk ubi dan
samba lado. Sedang mengemasi santapan untuk makan siang pun ibuk bercerita. Macam-macam.
Ada keadaan Meulaboh pra dan pasca tsunami kemudian membelok ke batu Malin
Kundang dan jembatan Siti Nurbaya. Alur cerita juga kembali lagi tentang Jeram
dan Meulaboh dan terjerembab ke anak-anak ibuk yang hanya sepasang. Aku mendengar
dan menyimak cerita ibuk. Tak lama bapak memanggil ibuk. Capeklah Ma. Iya,
sahut ibuk. Aku tergelak mendengar Bapak Ibuk yang usianya sudah mencapai 65-an
ini.
Kami
berangkat dengan motor suami adik bapak. Motor sama dengan mobil jika di
Indonesiakan. Suami adik bapak yang jadi supir. Di dalam mobil itu bertumpuk
lah, teman suami adik bapak, adik bapak dan dua putranya, bapak, ibuk, aku, adikku
dan ayah. Aku mencoba mencatat jalanan yang kami tempuh. Meulaboh terletak di
Aceh Barat. Untuk mencapainya kita harus melewati Kabupaten Nagan Raya terlebih
dahulu. Di sanalah Jeram berada. Di Jeram kami singgah di rumah teman adik
ibuk. Kami makan siang bersama. Tuan rumah yang juga kami panggil bapak
menyambut kami dengan sangat bahagia. Semua bercerita dengan sangat semangat
karena bapak tuan rumah juga sangat suka bercerita. Cerita yang kudengar hampir
sama dengan di rumah bapak. Tambahannya adalah bapak dan ibuk mengenalkan kami
dan bapak mengungkapkan keterkejutannya bahwa aku guru. Aku lebih cocok jadi
guru SMP. Bapak tuan rumah mengiyakan dengan tertawa lebar.
Suami
adik ibuk tampak gelisah. Hati-hati ia mengingatkan tujuan wisata ke Meulaboh. Barulah
mereka tersadar dan menuntaskan ceritanya. Kami berangkat dengan sebelumnya
bapak tuan rumah meminta nomor ponselku dan berpesan, cari suami orang Aceh. Haha,
aku tertawa sambil cengengesan. Perjalanan dilanjutkan ke Meulaboh. Kota Meulaboh
sudah ramai kembali. Malah lebih ramai dan besar ketimbang Tapak Tuan. Tidak begitu
tampak bahwa kota ini pernah hancur diterjang tsunami lalu. Disana, kami
mengunjungi pantai Meulaboh dan topi Teuku Umar. Bapak menunjuk-nunjuk batas
air surut kala tsunami dan bercerita apa yang saja terjadi ketika tsunami. Aku mendengar
dengan baik. Bapak bilang, rasanya tak ada manusia yang bertahan hidup di
Meulaboh kala itu. Seperti keluarga bapak di sini, bahkan bekas rumahnya saja tak
jelas lagi.
Malam
menjelang, kami pulang. Bapak dan ibuk menahan kami semalam lagi di Blang
Pidie. Masih banyak yang ingin bapak dan ibuk perlihatkan. Benar saja, setiba
di rumah, mandi, makan malam dan istirahat sejenak. Bapak dan ibuk membawa kami
berjalan kaki ke pasar. Ada acara tari-tarian Aceh yang ingin bapak ibuk
perlihatkan.
Esok
pagi aku bangun. Aku dan ayah menjalani ritual pagi yang sama seperti kemaren. Ayah
menikmati kopi pahit. Aku teh hangat dan keripik pisang. Dan bapak ibuk
bercerita. Bapak tersedak lagi dan menyuruh bersiap. Bapak dan ibuk ingin kami
melihat Pantai Jilbab. Serupa dengan kemaren, di tengah perjalanan bapak dan
ibuk bercerita. Mengapa namanya pantai jilbab? Tanyaku disela-sela cerita bapak
dan ibuk. Sekali itu rasanya aku bertanya kala bapak dan ibuk bercerita. Bapak dan
ibuk terdiam sesaat. Tak ada lagi cerita usai kubertanya. Bapak dan ibuk hanya
geleng-geleng kepala.
Tapak Tuan, 14 Januari, 12.47
cerita sebuah hubungan keluarga yang menarik mbk.. terus menulis ya! :)
BalasHapusberkawan dengan saya ya, jangan lupa kunjungi dan follow blog saya http://kampungkaryakita.blogspot.com/. Saya sudah memfollow blog ini.. Sukses :)
terima kasih. . . :)
BalasHapusaku juga udah baca blognya and follow, two tumbs up deh. . .
bagus,, awalnya bingung.. kok ada bapak kok ada ayah.. tapi ternyata faham juga hehe.. keep writing yah mbak... kunjungi n folow blog aku.. thnx :)
BalasHapus