Kerupuk “Kayu Tanam”


            Suara ibu tetap terdengar jelas meski di antara ramainya kesibukan orang di Bandara Internasional Minangkabau Padang sore itu. Petuahnya singkat saja, lakukan yang biasa masyarakat di negeri yang kamu pijaki lakukan. Suaranya lemah namun penuh ketegasan. Biar kutambahkan, “Kau berada di negeri yang sangat fanatik dengan agama anakku. Separuh hati ibumu merelakanmu, jangan kau tambah ketidakrelaan ibu dengan sembrono di negeri orang, kau harus seutuh terakhir aku bersamamu.” Setidaknya pesan itu yang aku baca dari binar-binar kristal di matamu dan canggungnya genggaman tanganmu di lingkar lenganku.
            Ah ibu, Insya Allah anakmu ini tahu bagaimana bersikap. Tak perlulah kecemasan serupa itu. Aku tak punya waktu untuk geli berlama-lama. Bagaimana lah aku mengungkapkan usia anakmu ini yang sudah berkepala dua. Ditambah pengalaman kuliah yang begitu heroik dan bersejarah. Ini perkara mudah ibu. Aku bisa.
            Ibu melepaskan cengkraman tangannya. Kemudian memeriksa barang-barang yang kubawa. Dan ia juga menghadiahiku seplastik besar kerupuk yang biasa kusebut kerupuk “Kayu Tanam” di dalam kantong asoi belang yang buruk rupa. Kemudian mengikatnya di tas punggung kelebihan beban yang membuat tulang belulangku terasa berderak-derak.
            Melihat itu, reflek aku berjongkok dan menimang-nimang asoi itu sembari memperhatikan kerumunan teman-teman lain di lobi bandara. Dengan halus, kubuka kembali ikatan asoi itu. Sedikit merengek kuminta ibu membawa pulang kembali kerupuk itu. “Aku malu Ibu. Asoi belang buruk ini mengganggu penampilanku.” Mendengar kalimat yang keluar begitu saja di mulutku, ibu merangsek mundur ke belakang. Kini Ia tepat bersembunyi di balik badan ayah. “Bagaimana caramu menghargai kejutan dari ibumu, ia pikir kamu tergila-gila dengan kerupuk ini sejak dulu.” Suara ayah tinggi namun penuh getaran. Setengah hati kukuatkan lagi ikatan asoi itu sembari berusaha menutupinya dengan jaket yang sedari tadi kukalungkan di tangan kiri.
***
24 jam perjalanan Medan-Aceh yang penuh perjuangan.
Lamat-lamat kubuka ikatan asoi belang. Satu dari sepuluh bungkus kerupuk ‘Kayu Tanam’ perlahan kubuka dengan khidmat. Aku nikmati setiap gigitan kerupuk yang memenuhi mulutku dan dendang cas cis cus nya yang mengundang selera. Teman-teman lain pun ikut mencoba. Kugilir bungkus-bungkus kerupuk lainnya. Hanya ini pilihan untuk bertahan hidup yang tersisa karena travel Medan-Tapak Tuan yang kami tumpangi mengalami pecah ban di jalan  antah barantah, tiada rumah penduduk maupun kedai minuman.
Ibu, dengan apa kubalas cintamu yang tak berbatas ini? Tak kusangka kerupuk ‘Kayu Tanam’ kesukaanku akan menjadi simbol kedurhakaanku padamu. Pantaslah rasanya jika kuminta kau kutuk aku serupa Malin Kundang dahulu. Namun, tolong kau kutuk aku menjadi emas saja ibu. Agar aku tetap berguna di penghujung nasibku.
22.43 WIB di Blangkuala, Meukek, Aceh Selatan, 20 Desember 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Cinta Sama Dengan Nol (26)