Tertawan Di Aceh Selatan

Pelabuhan Pasie, Meukek


            Kota ini benar-benar seksi. Dilihat dari sisi manapun tetap saja seksi. Tubuhnya menjalar di sepanjang garis pantai dan perbukitan. Aroma udaranya memanggil-manggil untuk singgah di setiap jengkalnya walau sekedar menangkap alam yang terhidang lewat lensa. Biru laut dan hijau tetumbuhan berganti-ganti memanjakan mata. Desahan angin menambah keseksian si kota Serambi. Ciptaan Tuhan ini sungguh rupawan memikat hati. Lebih dari cukup untuk menyembunyikan kenangan akan Padang Kota Tercinta, Kujaga dan Kubela.
Tapi jangan menyembunyikan kenanganku di tempat yang sulit kutemukan. Ibuku bisa sesak nafas bila kau menambat hatiku lama-lama.
Kemaren saja ia sudah bertanya kepulanganku lebaran 8 bulan yang akan datang. Sempat kubilang hendak hati berhari raya di sini. Tapi diam ibu usaiku bicara membuatku luluh begitu saja. Tak apalah melayang waktu sebanyak tiga minggu. Ada sekira 10 bulan berselang yang bisa kita lalui bersama. Selama itu, aku akan menyentuhmu dengan sangat mesra. Kususuri tiap-tiap lekuk tubuhmu. Bahkan, rongga-rongga terjepit pun tak mau kulepas dari jejakku. Kendati kota Padang nun jauh di sana tak kunjung terlupa. Tenang saja, hatiku pendua cinta yang mahir.
Tapi maaf, aku bukan pengingat tempat yang baik. Kemampuan navigasiku E. Bahkan kalau ada nilai F, pastilah nilaiku F. Sebulan ini saja, aku telah menempuh beratus-ratus kilometer menapaki puluhan tempat di bentang alam ini. Dan yang kuingat malah bisa saja dihitung jari. Biar kucoba sedikit berkerah mengingat tempat-tempat yang telah kujelajahi agar terkekalkan pula kenangan kita yang mungkin tak akan terjadi berulang-ulang.
Berawal dari tempatku menetap di desa Mata Ie, Blang Kuala Kecamatan Meukek. Aku dan kawan-kawan telah berjalan-jalan di Pelabuhan Pasie Meukek, Pantai Ujung Batu, Blang Bladeh, dan Arun Tunggai pada minggu pagi untuk asmara subuh. Asmara subuh, begitu penduduk Meukek biasa menyebut marathon. Jika kami berangkat pukul 06.00 pagi maka kami akan sampai di rumah lagi pukul 10.00 nanti. Tak hanya itu aku bahkan telah sampai menjelajah ke daerah Jambo Papen. Wilayah ini sekira 6 KM dari kediamanku. Di sini, bukit-bukit beriring-iringan sepanjang jalan. Kicauan burung pun beradu dengan gemericik sungai yang mengalir di sepanjang bukit. Jika ke sini pada siang hari, tempat ini sangat sepi karena penduduk setempat berada diperbukitan untuk mengolah kebun mereka. Cerita dari penduduk setempat, dahulunya Jambo Papen adalah tempat yang sangat mengerikan karena di sini adalah sarangnya GAM.
Perjalananku berlanjut mencapai Blang Pidie, Aceh Barat Daya. Menjelang ke sana, kita melewati Rot Tengoh, Labuhan Haji Timur, Labuhan Haji, Labuhan Haji Barat, Manggeng, Tangan-Tangan dan barulah tiba di Blang Pidie. Perjalanan dari Meukek memakan sekira 90 menit dengan mobil. Blang Pidie biasanya merupakan pilihan penduduk Aceh Selatan untuk shopping. Berbalik arah dari sana, perjalanan dilanjutkan ke Tapaktuan, ibu kota Aceh Selatan. Sebelumnya kita melintasi Sawang, Ie Dingin, dan Samadua. Aku dan teman-teman melewati setengah dari badan kota yang ramai dengan miniatur dan lukisan naga tersebut dengan berjalan kaki. Kendati banyak yang memandang miring lantaran berfikir kami manusia miskin tak berdaya, kami tak peduli sama sekali. Sengaja. Karena aku ingin berlama-lama dengan kota yang berlegenda dengan jejak tapak Tuan Tapa pembunuh naga. Memang benar, kami bertemu dengan sebuah kawasan yang bernama Tuan Tapa. Dari legenda yang kudengar, Tuan Tapa inilah yang membunuh naga jantan dan betina yang tidak ingin mengembalikan Putri Bungsu ke pangkuan orang tuanya. Legenda inilah yang menjadi cikal bakal nama kota ini dan beberapa kota lain seperti Batu Merah dan Batu Itam. Cukup dahsyat pengalamanku bukan? Walau aku tak bisa membedakan arah Tapaktuan dan Blang Pidie dari Meukek ke kiri atau kanan.
Itu baru dari segi panoramanya saja. Bahasanya aduhai sangatlah menggoda. Menggoda untuk dipelajari sampai keriting. Hanya di sini aku menemui jambu biji disapa gelima, kelapa cukup dipanggil u dan tidur dengan eh. Itupun adalah bahasa Aceh yang digunakan di tempatku bermukim. Ada 8 bahasa lagi yang penduduk Aceh gunakan sesuai tempat kediaman mereka masing-masing seperti bahasa Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk  Jamee, Kluet, Singkil, Simeulu dan Haloban. Syukurlah aku berada di sini. Jika aku di Tapaktuan yang penduduknya menggunakan bahasa Jamee, tentulah aku tidak bisa menambah perbendaharaan bahasaku. Pasalnya, bahasa Jamee ini sama dengan bahasa Minang, hanya berbeda dari logat dan aksennya bertutur. Tentulah masalah ini tidak bisa kujelaskan panjang lebar karena, sebagai pemula aku juga tak begitu mengetahui. Sekarang saja aku belum khatam melafazkan 17 vokal tunggal dan 17 vokal rangkap yang beda-beda tipis bila diucapkan namun bisa salah arti bila salah pelafalan. Ah, Aceh Selatan memang menawan. Bahasanya membuat makin seksi saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Cinta Sama Dengan Nol (26)