Hana Tepeu, Hana Pepeu*
“Bek lah Buk, bek lah,” 37 siswa di ruangan itu
merajuk serempak. Aku terdiam sekira lima menit mencoba mengetahui arti kata
yang mereka ucapkan. Tak jua mengerti kutanya salah satu siswa. Juga, serempak
mereka tertawa kegirangan. “Bebek Buk, bebek,” sahut siswa dari sudut kanan
belakang. Untung emosiku tak terpancing dengan kebohongan siswa. Mana mungkin
aku mirip bebek. Apa mereka tak tahu teori Charles Darwin? Hehe, bercanda. Tak
lama seorang siswa menjawab dengan nada merajuk, “maksudnya jangan Buk, jangan
larang kami mencontek maupun melihat konsep (jimat).” Oh jangan. Aku sih sudah
tahu bek artinya jangan. Tapi kok pelafalannya jadi asing bila keluar dari
mulut mereka. Khas Arab. “Ishhh kerjakan! Mungkin Ibuk akan membiarkan aksi
kalian tapi Ibuk akan mencatat nama kalian di berita acara. Jangan main-main
ujian kali ini,” seringaiku buas. Huftt naluri keguruan ternyata seperti ini,
Ibuk tak rela Nak, kalau sudah besar nanti kalian menjadi penerus Nazaruddin.
Mereka pun mulai ujian dengan tenang. Aku berdiri di
depan tanpa melepaskan tatapanku dari siswa-siswa yang sudah sibuk membaca-baca
soal dengan gayanya masing-masing. Tentu, tak kubiarkan pantatku berjejak di sebuah
kursi paling depan itu demi membayangkan gelagat siswa yang aneh meski sedetik
saja rendah dari mereka.
15 menit berlalu. Aku tiba di saat-saat genting. Mereka
mulai bergelagat macam-macam. Ada yang mengawasi gerak mataku, menunduk-nunduk
penuh kehatia-hatian, menutup wajah dengan kertas soal dan menoleh kiri kanan
sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Huh, mereka pikir aku tak akan tahu. “Op op. .
.apa yang ada di lacimu, kasih ke Ibuk!” bentakku. Kujelang meja sudut kanan ke
dua dari depan itu dengan sarkas dan kurampas beberapa helai kertas penuh
azimat dari dalam laci. Aku pasang tampang sadis tapi manisku dengan penuh
penghayatan. Kutatap satu-satu wajah siswa. “Tak rugi kalau kalian sportif,”
ucapku tegas tanpa beranjak dari tempatku berdiri.
Suasana kelas menjadi sangat kaku. Beberapa siswa
laki-laki mulai balas menatap mataku tajam. Rasa gentar pun memenuhi hatiku.
Aku tak berani membalas tatapan bola-bola mata itu. Aku coba mengalih-alihkan
pandangan mata ke lembar jawaban siswa secara bergantian. “Hei…kamu maju ke
depan!” aku mulai bertingkah lagi. Siswa-siswa yang bersusah payah menoleh kiri
kanan langsung kutegur keras. Aku tahu ini akan berdampak buruk padaku
nantinya. Tapi aku juga tak mau dicap sebagai guru ‘gampangan’. Suasana gaduh
mulai mewabah di dalam lokal itu. Dengan wajah ditekuk, siswa yang kutegur tadi
mengumpat-ngumpat dengan menggunakan bahasa Aceh mereka.
Walau tak mengerti dengan bahasa yang mereka ucapkan, dari
raut wajah mereka, aku tahu pasti mereka sedang mengata-ngataiku dengan sangat
kasar. “Ibuk sundek, bengeh-bengeh terus.” Rasanya kalimat itu yang sering
muncul. Kenyang kumendengar sumpah serapah mereka, muncul ideku melawan. Dengan
lantang kuberujar, ”Hana Teupe Ibuk, Hana Peupe, week,” yang bermakna, terserah
kalian mau mengata-ngatai ibuk dengan bahasa Aceh, ibuk juga gak bakal mengerti jadi gak ngerasa
tuh.”Lho, Ibuk bisa bahasa Aceh Buk?”
tanya seorang siswa cemas.
*Tidak
tahu, tidak apa-apa.
13.00,
di Blang Kuala Meukek, Aceh Selatan 27 Desember 2011
Hahahaha, cool kanda.. Semoga saya bisa mengikuti jejakmu. xixxi...
BalasHapusThanks dinda. . .
BalasHapus