Tujuh Lawan Satu



        Ada tujuh alasan yang ingin kukemukakan secara gamblang kepada sosok tegas yang sedang menikmati kopi pahit di hadapanku. Tujuh alasan yang kuharap dapat menggagalkan kedatangannya ke tempatku berada, tepatnya di hadapanku saat ini. Seminggu yang lalu aku berhasil membuatnya ragu kemari dengan ucapanku yang penuh basa-basi. Aku menyelipkan sedikit-sedikit pertimbanganku di antara harapku yang sangat akan kedatangannya. Dan itulah akhirnya. Ia telah di depanku sekarang, menikmati kopi pahit sambil sesekali mengurut-urut kaki kanannya yang membengkak karena bersempitan di dalam travel. Ini akibatnya aku berbicara tidak dengan gamblang. Ia datang dan aku gelisah.
Ia adalah ayahku. Usianya sekira 52 tahun, persisnya entah. Tubuhnya masih tegap dan gemuk berisi. Masih kuat melakukan apa saja layaknya orang muda meski beberapa helai kumis dan rambutnya telah memutih. Hari itu ayah memakai kemeja merah hati kesukaannya. Kesukaanku juga. Bersama ayah ada 3 karton besar dan sebuah tas. Salah satunya tak bisa kuangkat sedikitpun. Di dalamnya ternyata beras seberat 20 kg. Saat pandangan kami beradu, ayah mengalihkan perhatiannya dengan kemudian pergi memikul dus 20 kg itu di bahunya ke dalam rumah.
Ayah dan aku berkumpul di rumah saudara. Tuan rumah terlihat sangat senang, menyalami ayah dengan sedikit membungkuk dan menyuguhkannya kopi panas. Ayah menyeruput minuman hitam itu perlahan dengan nikmat. Melihat-lihat ke seisi rumah dan lagi-lagi mengurut-urut kaki kanannya. Meski begitu, wajah ayah sangat ceria. Ayah bercerita panjang lebar akan perjalanan Bukit Tinggi-Tapak Tuan yang sangat singkat. 21 jam saja, sudah  termasuk mendaki di jalan rusak dan Istirahat yang banyak karena tak ada supir pengganti. Ayah tetap saja bercerita kendati ia sangat lelah. Wajah ayah menjelaskan kelelahan itu. Tapi ayah tetap saja ceria.
Aku urung menjelaskan tujuh alasan itu lagi kepada ayah. Aku trauma mengenang wajahku yang berurai air mata meminta maaf pada ayah karena ayah tersinggung. Tersinggung karena aku terkesan melarang kedatangannya ke sini. Sekaligus beriba hati akan anaknya yang terkesan tak menerima kedatangannya. Anak mana yang tak hancur hatinya bila dianggap tak menerima ayahnya. Sekaligus menghancurkan tujuh alasanku cukup dengan satu tebas alasan ayah.
Seperti yang sering kukatakan. Aku terlahir dari keluarga biasa tapi dibesarkan dengan cara yang luar biasa. Hingga aku terlalu detail memikirkan kedatangan ayah. Temanku juga sering mengingatkan untuk tidak melupakan poin negatif dalam bertindak seperti yang biasa kulakukan. Tujuh alasanku tidak lebih dari hal sepele tapi akan menjadi sangat besar karena ini menyangkut ayahku. Kesatu, aku takut mobil ayah kecelakaan di jalan. Kedua, aku takut jika ayah tak sengaja terlibat atmosfir politik Aceh yang tidak stabil seperti penembakan liar yang sedang marak. Ketiga, ayah kelelahan karena perjalanan panjang. Aku tak rela. Kemudian keempat, kelima, keenam dan ketujuhnya adalah aku takut tidak bisa memberikan penyambutan yang istimewa untuk ayah sebagai bukti baktiku. Aku tak rela jika ayah kecewa dengan kondisi yang ayah alami di sini. Sekecil apapun kekecewaan itu, aku tak akan rela.
Nyatanya, ayah tetap menemuiku ke sini tanpa ragu sedikitpun. Ayah tampak bahagia. Terlihat dari intensitasnya tersenyum kendati tak begitu banyak pengalaman di Aceh Selatan yang ia dapatkan. Sekarang, aku baru mengerti. Bagi ayah, apalah artinya tujuh alasan itu dibanding satu alasan yaitu memastikan bahwa aku di sini baik-baik saja. Walau ayah tak sedikitpun bertanya apa aku baik-baik saja?
Tapak Tuan, 8 Januari, 22.00 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Cinta Sama Dengan Nol (26)