Tutup Mata, Tutup Telinga, Cukup Buka Hati Saja



            Aku menatap jadwal mengajar, bimbingan belajar olimpiade, ekstra kurikuler, les Bahasa Inggris untuk TK-SD dan kegiatan kemasyarakatan di meja kerjaku dengan takjub. Sama takjubnya ketika melihat tumpukan latihan Kimia dan Bahasa Inggris siswa yang belum kuperiksa, soal ujian Kimia kelas X dan Bahasa Inggris kelas XI serta bahan ajar Kimia dan Bahasa Inggris untuk kelas XII yang harus kukerjakan hingga melebihi batas dini hari. Ups ya, satu lagi beberapa proposal dan laporan pertanggung jawaban beraneka judul yang juga harus kutangani (Hohoho udah rangkap TU dan Bendahara Sekolah juga nih). Takjubku terhitung setiap hari. Untuk diketahui, masalah jadwal aku memang teramat tersangat dan tervery-very kewalahan. Mungkin siswa-siswa yang tidak sabaran bisa sangat jenuh berhubungan denganku karena banyak jadwal yang batal, diganti ke hari lain dan setiba di hari itu kembali batal karena Tuhan hanya menciptakan 7 hari dalam seminggu (Ahrgg. . .kurang Tuhan, hehe)

            “Oh andai Tuhan menambah hari dalam seminggu, Nak” ucapku romantis kepada setiap anak yang menanyakan jadwal ekstrakurikuler “English Club” yang aku pawangi. Alhasil setiap malam dalam dua minggu terakhir ini aku berhasil menjadi pengigau terbaik se-dunia. Mungkin alam bawah sadarku memberontak akan sikapku yang mungkin telah menyakiti siswa-siswaku yang tak bersalah dan tak tahu apa-apa (hoho).
“Jaga kesehatannya, jangan lupa,” sebuah sms masuk dari ‘Lupakan’. Bersegera kubalas sms itu sambil tersenyum senang. Kuketikkan dengan penuh ketidaksabaran “Tenang, aku tidak bakal sakit kok J”. Bukannya aku bermaksud sombong, tapi memang aku baik-baik saja kendati kesibukan yang berabrek-abrek. Mungkin karena hatiku bahagia menjalani kegiatan itu. Memberi itu menyenangkan lho. Semakin banyak memberi akan semakin banyak pula yang akan diterima. (Setuju?). Dan oh…ada sms balasan. “Jangan lupa makan Bu” Hmm dari siswa, kirain (hehe). Aku tersenyum dan langsung menuju meja makan. Mematuhi pesan si pengirim.
Yah begitulah, aku menggeluti kegiatan seperti itu setiap hari. Senin-Sabtu, pagi mengajar, sore membimbing anak-anak olimpiade dan English Club. Khusus Minggu, pagi GORO di Ladang Tuha dan sorenya mengajar anak SD Matematika dan Bahasa Inggris. Malamnya mengetik ini itu diselingi jalan-jalan dengan motor yang balok bensinnya tinggal satu kotak berkedap-kedip. Pengalaman yang sarat ilmu serta peningkatan kualitas diri bukan? Aku puas.
“Bu, kenapa Ibu sibuk-sibuk seperti ini, Gak usah aja Bu, toh sekolah kita memang payah dari segi manapun. Ibu hanya memubazirkan tenaga, waktu dan uang Ibu saja,” ucap seorang guru kala itu. Aku tidak menjawab karena aku tidak mengerti yang dia ucapkan sehingga aku juga tidak  tahu menjawab apa. Aku diam dan mencoba merangkai jawaban dengan berusaha mengumpulkan informasi dari teman seperjuangan. Dan apa yang terjadi? Oh tidak, bodohnya aku isu seperti itu ternyata telah bergulir sejak zaman Meghalitikum. Kau tahu beberapa mencibir, beberapa menyayangkan dan lebih banyak menganggap bodoh karena bisa saja dibebani melampaui batas. Yah, di sini orang yang bisa ditekan akan semakin ditekan sedangkan yang tidak bisa ditekan, dibiarkan dan dianggap tak ada. So What? Kepalaku pusing, perutku pedih dan hatiku sakit. Aku tidak tahu mesti berbuat apa.
Sebuah panggilan datang. “Halo. . .”. “Halo juga sayang, aku ingin bertanya padamu. Kamu ingin mendefinisikan hati itu seperti apa?” Kubayangkan kamu bertanya sambil mengunyah permen karet rasa strawberry di depanku tanpa malu-malu. Berfikir sejenak, aku pun menjawab dengan enggan. “Suka-suka kamu sajalah, toh makna apapun yang kita beri tidak akan mengubah hal apapun tentang hati.” “Hal apa pun tentang hati?” kini kau balik bertanya. Sambil bertanya, tubuhmu pun ikut berbalik menghadap ke arahku. “Memangnya ada apa dengan kalimatku tadi?” Aku terkesiap heran. “Iya, aku hanya tidak mengerti tentang kata hal tentang hati yang kamu maksudkan. Memangnya ada hal apa saja dengan hati?”
            Aku menjawab takzim sekarang. Apa sih yang diinginkan makhluk manis di seberangku ini. Hal tentang hati adalah banyak. Ah kau ini, bukan itu maksudku. Apa wujud hal itu? Wujudnya adalah tak berwujud balasku. Lantas kenapa hati yang segala halnya tak berwujud ini membantuku untuk berwujud? Rasanya kita terbentuk karena hati. Dan hati itu pulalah yang membuat aku dan kamu bercakap-cakap berdua. Benarkan? Ho oh benar, jawabku sinis. Aku mulai sinis karena kau mulai membawa kita dalam topik pembicaraan ini. Tapi aku mulai dibingungkan dengan hati yang membantumu berwujud karena segala halnya bukankah tidak berwujud. Kau kini mengangguk dan aku semakin tertarik tentang hati.
            Begini, ucapmu lagi. Aku menilai apa yang ada di dunia ini bersumber dari hati. Segala hal tentang hati itu juga penafsiranku tentang adanya kata hati, mata hati, suara hati. Menurutmu apa itu semua? Tak berwujud bukan? “Ia lantas?” Huft jadi kesimpulannya keabstrakan dapat mewakili sesuatu yang berbentuk nyata karena energinya jauh lebih besar. Aku berani menyebutnya energi yang jauh lebih besar karena kebersamaan kita ini bersumber dari hati bukan. Kau sama sekali tidak secantik wanita iklan sabun, shampoo dan kosmetik. Suaramu juga tak seindah penyanyi dangdut, apalagi fashionmu. Tak begitu enak dilihat. Tapi hatiku ternyata memilihmu untuk tetap di sampingku bukan?
            Aku tersenyum dan mendelik. Kau menyebalkan, ucapku perlahan. Tunggu sayang, kalimatku belum selesai. Hatiku kan tidak sependapat dengan mata dan telingaku. “Baginya, kau....” diam sesaat. Kau tidak melanjutkan perkataanmu. Kenapa diam? Ucapku enggan. Iya, aku tidak mau memberi tahu, apa yang dilihat dan didengar hatiku tentangmu. Hei, kau membuatku gila.  Ah, kau tak ternilai sayang. Ucapmu perlahan namun dengan hatimu.
Percakapan terhenti. Benar katamu, tutup mata, tutup telinga, cukup hati saja yang mewakilinya. Biarkan mereka semua bicara apa, yang penting hatiku akan selalu terbuka untuk siswa-siswaku yang tak ternilai. Aku pun mendapatkan lelap tidurku kembali walau mengigau. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Cinta Sama Dengan Nol (26)