Baju Lebaran

            
Waktu aku, kakak dan adikku masih kecil, kami mendapatkan baju baru hanya satu kali satu tahun. Yaitu baju lebaran. Kami asing mendengar jika orang bercerita tentang baju baru. Kami hanya mengetahui tentang baju lebaran tahun ini, baju lebaran tahun kemaren, atau baju lebaran dua tahun yang lalu. Perkara itulah kami sangat menanti-nantikan bulan Ramadhan, Lebaran tepatnya. Dimana aku akan mendapatkan baju baru dengan model gaun bunga-bunga dan sepatu baru ala sepatu gunung merk Carwil atau New Era. Tentang sepatu, kami bertiga (minus Annisa) per tahunnya memiliki model sepatu yang sama. Carwil atau New Era. Walau sepatu lebaran tahun lalu masih utuh dan tampak bagus. Tetap saja, kami membeli sepatu baru walau dengan model itu itu melulu.
Papa dan Mama biasanya membelikan kami baju baru, dua atau tiga hari menjelang lebaran. Kami membelinya di Bukittinggi. Walau lokasinya sekira dua jam dari rumah dengan angkutan umum pula, kami tetap kuat menghadapinya. Pun biasanya panas terik, macet, asap hitam dari bus-bus besar dan kami juga sedang berpuasa. Kami tetap tabah berjalan dari satu toko ke toko lain memilih-milih baju yang kami sukai. Tak ayal sepanjang jalan kami bertengkar dan bermuka masam jika salah satu dari kami sudah membeli sedangkan yang lain belum. Lalu Mama akan memarahi kami plus mengancam tidak akan membelikan baju lebaran tahun depan. Kami pun berdamai kembali.
Kebiasaan membeli baju lebaran di Bukittinggi ini berlangsung hingga aku SMA. Karena itulah, sampai sekarang pun aku tidak terbiasa membeli baju baru jika tidak lebaran. Aku selalu tidak punya uang untuk membeli baju. Uangku ada jika untuk membeli buku, komik, majalah dan ayam KFC, hehe. Aku betah memakai baju-baju usang model tempoe doeloe. Bahkan beberapa temanku sering histeris menatapku berpakaian. Mungkin aku merusak pemandangan. Seleraku dalam memilih baju dan mencocok-cocokkan warna sangat buruk. Anehnya, aku masa bodoh saja walau mungkin orang akan berfikiran betapa miskin tak berdayanya aku.
Memang, membeli baju baru bagiku adalah sesuatu hal yang cukup sakral. Membelinya di hari lain selain waktu lebaran rasanya menjadi kurang afdhal. Berbeda dengan membeli buku. Papa Mamaku membelikanku buku kapanpun aku mau. Ya, ini hanya soal kebiasaan. Hanya saja beberapa bulan terakhir Mamaku mulai menyuruhku untuk mengalokasikan uang membeli bukuku untuk membeli baju. Mungkin beliau takut aku tak laku-laku jika selalu berpenampilan mengenaskan. Dan untunglah teman-temanku mau menunjukkanku ke baju yang benar. Walau setelah itu aku termenung menung sendiri. Hukum bajunya makruh deh, hehe. 
Tak terasa dua hari lagi lebaran. Jantungku jadi berdebaran karena baju lebaran. Sebelum pembelian baju lebaran di Bukittinggi tertunaikan, aku krasak krusuk tak menentu.  Beberapa temanku ada yang mencemooh tentang perangaiku ini. Bagi mereka tak ada istilah baju lebaran untuk makhluk setua aku. Aku sama sekali tak peduli. Baju lebaran bagiku adalah tentang menjemput kenangan masa lalu. Menikmati momen-momen bersejarah yang membuatku bersemangat menjalani hari-hari berikutnya. Biarlah yang lain tak berurusan dengan baju lebaran. Mereka hanya lupa betapa berharganya kenangan yang menyertai setiap baju lebaran itu. Batusangkar, 5 Agustus

Komentar

  1. cerita lebarannya asyik dan menarik,
    saya juga senang bertemu dan berkumpul dengan keluarga dikampung, suasananya selalu membuat kangen, pakai Gamis Baru dan silaturohmi ke kerabat, sungguh sangat menyenangkan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Cinta Sama Dengan Nol (26)