Ingatan
Kata orang, setiap
kejadian di masa lalu adalah kenangan. Namun tak semua orang mengategorikan
semua kejadian lampau menjadi kenangan. Entah karena manusia memiliki
keterbatasan dalam mengingat atau memang karena sudah terbiasa melupakan.
Seperti aku. Aku punya defenisi tersendiri atas kenangan. Kenangan baik berarti
kenangan. Kenangan buruk berarti lupakan. Walau aku lebih sering mengingat
lupakan dibanding kenangan.
Aku memang tidak berbadan besar. Namun kurasa aku
memiliki otak dan hati yang besar untuk menyimpan semua kenangan. Sekaligus
mengingat lupakan. Hoho, bukan maksud melucu tapi memang, sifat aneh manusia
tak terkecuali padaku. Dimana yang ingin kita lupa, kita ingat. Yang ingin kita
ingat, kita malah lupa. Agar tidak ragu, monggo kita sebut lupakan, saudaranya
kenangan menjadi ingatan.
Sepertinya hati dan otakku sangat elastis untuk menampung
ingatan-ingatan tanpa ada batas maksimal. Tapi, aku tidak bisa memilah-milah
mana ingatan yang mesti parkir di otak dan mana yang di hati. Pokoknya aku ingat.
Itu yang jelas. Hanya saja aku sering gamang dengan ingatan yang sengaja
dijemput. Siapa yang tidak mau mengulang kenangan? Dan apa jadinya jika tak ada
kesempatan untuk mengulang? Kecewa tidak menyenangkan bukan?
Namun
aku punya sebuah ingatan khusus. Dimana aku menggunakan hati dan otakku
sekaligus untuk menyimpannya. Berharap ingatan ini tersimpan amat sangat rapi
dan mampu menembus lintas zaman. Sekarang, aku jadi guru SMA lagi. Bukan SMA
dulu. Aku mengajar siswa IPA lagi. Bukan siswa IPA dulu. Hari ini aku mengajar
di lokal XI IPA 1. Bisa dipastikan bukan lokal XI IPA 1 yang dulu. Aku tak
bertemu Afiat dengan imajinasi liarnya akan elang dan kecebong imut. Melihat
kerut keningnya saat menyelesaikan soal olimpiade TIK atau mendengar guyonannya
saat pidato dan belajar. Aku tak lagi sibuk memarahi Aflizar yang sering absen
dan bermalas-malasan di kursi belakang. Mengkhawatirkan Fela Rosika yang
tiba-tiba pingsan sebelum teumamong
di sebelahku. Memperhatikan Annisa, Dina, Delfi, Elia, Helia, Laila, Lisa
kuadrat, Maulida, Maya, Maidah, Wasilah, Yulia yang lebih banyak diam saat
belajar namun heboh di labor TIK. Tak lagi kudengar ucapan konsonan T dari Lima
yang lebih mirip dengan menyebut huruf D. Bolak balik memeriksa catatan
Murniadi yang tak lengkap. Tak lagi repot membedakan antara Rahmat Yani, Saiful,
Said dan Redi Wardani. Mendengar suara Tomi yang begitu lembut hingga sulit didengar.
Menegur Alfin Desrijal yang tidak fokus belajar. Bercerita dengan si pintar
Ikramah yang ceria dan menyenangkan. Melihat Kiki Andrio yang pendiam. Semangat
45 Nonfis, Ifah dan Yuli dalam belajar. Si manis Silvi yang mirip denganku.
Mendengar ocehan Silva yang tak jelas. Memperhatikan si kalem Rika, si lucu
Firdaus, si gagah Ihsan dan Reza yang sensitif.
Kalau
ingat sekolahku yang dulu, aku jadi kangen marah-marah. Namun sekarang aku tak
punya alasan yang cukup kuat untuk marah. Dulu aku pernah marah besar di XI IPA
2. Lokal ini paling diam dan tenang namun berhasil membuatku menyalurkan marah
terbesarku. Namun tak apa. Marah-marah ternyata dapat meredam kebosanan. Ridho apa
kabar? Dia pendiam di lokal yang juga sudah diam. Namun, dalam diam-diam, IPA 2
ternyata gudangnya tulisan tangan favoritku. Aga, Fhata dan Uyun memiliki
tulisan tangan yang indah dan rapi. Oki dan Fathul juga. Tidak seperti Dedi
Reza dan Fitrah yang membuatku pusing memeriksa catatan mereka. Walau diam, mereka
memiliki potensi yang cukup menarik. Seperti Rita yang pernah mendapat nilai
100 belajar denganku tetapi juga piawai dalam menari dan bernyanyi. Ada juga Mutia
dengan gaya cemberutnya yang khas juga pintar berbahasa Inggris dan menari. Eka
dan Raji yang lebih banyak diam saat belajar namun sangat aktif ketika menari. Ada
juga Firda yang hitam manis. Aku paling suka saat dia tersenyum. Si cantik
Selvia yang pintar pidato. Dia selalu berdua-dua dengan Putri Ayu. Riski yang
kalem. Marzalena yang pintar mengaji. Maidar yang selalu duduk di belakang. Dan
meja Amni, Irwana, Yersi, Nailis, Marwah, Nova, Laili, Rapita, Ulfa, Rini,
Yuldawati, Wijra, Roza, Safrida, Sefina, Wulia, dan Yenni yang sering
kukunjungi untuk memeriksa tugas mereka.
Berbicara
tentang tugas, aku jadi teringat lokal XI IPA 3 yang selalu mencari gara-gara. Lokal
ini cukup aktif, namun mereka sering tidak membuat tugas. Walau begitu, aku tak
ingin lupa bahwa di sana ada Dian yang sebetulnya pintar tapi malas. Mansur
yang imut dan lucu. Awi yang jenius dalam bermusik. Ihsal yang tak mau berdoa
di atas pentas. Si suara merdu Zammi yang gemar bikin ulah. Wahyudi yang
pendiam. Farid yang suka tidur-tiduran. Nasrul, Kiyur, Rezi, Safrizal, Sukardi,
dan Zulfazli yang sering remedial. Di IPA 3 aku juga punya Desi yang setia
kawan dan peduli. Cut Anisa, Khamariah, Putri,
Nurul, Rozatul, yang manis dan pendiam. Cut Putri , Misra dan Ressi yang cerewet. Nela Wirda yang ceria. Nurlaila dan
Nurlailawati yang sulit kubedakan orangnya. Wilda, Yudiana, Yustia, Yani,
Sultra dan Zurina dengan senyum manis mereka. Dan Maya Fadhillah yang jam
tangan pemberiannya tidak pernah lupa kupakai kemana-mana.
Semoga mereka selalu
sehat, sukses dan berjumpa denganku di kotaku. Aku memang sengaja tidak
berkabar karena guru kalian ini takut kecewa jika tidak ada kesempatan untuk
mengulang kenangan. Walau tak membalas pesan, tapi aku ingat bukan? Hanya saja,
aku penyayang yang kejam.
Komentar
Posting Komentar