Sense Of Love

Pilihanku jatuh pada buku merah
bergambar satu hati besar sebagai cover. Judulnya sepasang kekasih yang belum
bertemu. Belum bertemu? Iya, iya belum. Judul yang lezat, tepat. Cocok dengan
keadaanku saat ini. But wait wait? Belum bertemu dengan belum menemukan, serupa
kah? Begitulah ceritanya. Indra pencintaku tak rela divonis sendiri. Dia
menularkannya ke daya nalar. Itulah yang dinamakan galau o galau. Aku berfikir novel
ini berkisah tentang seseorang yang mempersiapkan dirinya sebaik mungkin
sebelum bertemu dengan kekasihnya. Memantapkan hati. Menguatkan asa. Mempererat
tali silahturahmi,eh. Begitulah manusia kala galau berkuasa. Aku hanya melihat
apa yang ingin kulihat bukan apa yang benar-benar terjadi. Karena buku ini
ternyata bercerita tentang sepasang kekasih yang berkenalan di sosial media dan
memulai kencan pertama tepat pada telepon pertama pula.
Sesuatu yang bahkan jauh dari
teori cinta relevan dengan ditilang polisi seperti yang kita bicarakan tadi.
Hanya saja, bukan aku namanya jika tidak menyelesaikan apa yang telah dibaca.
Yap. Aku sudah memutuskan. Pamali jika tidak dilanjutkan. Persis dugaanku. Buku
ini lebih seperti curahan hati penulis tentang cerita cintanya yang di luar
logika di dalam hati. Penulis bahkan menggunakan namanya sebagai tokoh utama.
Membuat kisah yang diceritakan seperti sungguhan kisah penulis sendiri. Penulis
meyakinkan pembaca bahwa ini bukan kisah yang dangkal atau gila. Karena cinta
tidak bisa jatuh pada orang yang tidak saling kenal bukan pada dua orang yang
belum bertemu. Okelah kalau begitu.
Lalu bagaimana jika sudah bertemu
nanti kau tidak suka cara makannya. Caranya menatapmu. Caranya berbicara.
Caranya memperlakukan benda-benda di sekitar dan hal-hal kecil lainnya. Hayyoo!
Cintamu berubahkah?
Aku lanjut membaca dengan santai.
Novel ini terlihat seperti dyari anak sekolahan yang membuatku sedikit bosan.
Mungkin karena aku memulai dengan ekspektasi yang cukup besar agar aku tak
perlu ditilang polisi untuk merasakan getar-getar cinta. Terlepas dari
kepercayaan penulis mencintai lewat telponan dan fhoto media sosial saja bukan
barang antik, aku tetap tidak begitu menikmati plot cerita yang hambar, datar
dan tidak membekaskan kesan. Bacaan ringan dengan gaya bertutur yang biasa.
Dari cerita bermula, pembaca bisa jadi sudah bisa menebak konflik, klimaks
bahkan ending cerita. Mungkin karena buku ber-genre seperti ini
tidak cocok dengan seleraku. Karena aku terbiasa dengan cerita yang membuatku
berhenti di beberapa bagian. Untuk menghela nafas, berfikir dan memaknai
kalimat demi kalimat yang dituturkan penulis dalam bukunya.
Hingga akhirnya aku tiba di
bagian akhir cerita. Di sanalah aku berhenti dan berfikir sejenak. Oke oke,
mungkin karena aku terlalu sibuk memikirkan cinta aku jadi melewatkan bagian-bagian
yang seharusnya memberi makna yaitu tentang menulis. Si aku dalam cerita
sebenarnya sudah sibuk sejak bagian pertama menyentil-nyentilku dengan
pertanyaan. “Dua tahun itu kau sudah tidak jatuh cinta atau kau sudah tidak
menulis lagi?” Aku yang terdera sentimentil sense of love berkepanjangan
membuatku tak sadar kesungguhan penulis mewujudkan mimpinya menjadi penulis
professional juga dituturkan dalam bukunya ini.
Aku mengambil cermin sambil
menunduk dalam-dalam. Tak tahan memandang diriku sendiri yang tidak tahu apa
yang benar-benar aku inginkan. Tidak bisa menyelesaikan kalimat I wish
dan I want. Kini, melalui buku ini aku tahu apa yang benar-benar aku
inginkan yaitu menang berperang melawan kertas putih ini. Andai saja aku lebih
sungguh-sungguh mungkin aku tidak akan memilih menjadi pecundang selalu. Andai
saja aku tidak berfikir terlalu panjang ketimbang berbuat lebih banyak mungkin
sudah banyak mimpi yang aku wujudkan salah satunya cinta itu tadi.
Boro-boro menajamkan Sense of
Love, selama ini aku justru membuat cinta itu menjadi semakin rumit dan
sulit dimengerti. Setelah membaca buku ini, aku menyadari kalau cinta tidak
sesulit itu kok asal kita membuka hati untuk kehadirannya. Tak peduli kau belum
pernah jatuh cinta atau sudah berkali-kali, rasa cinta itu sama saja. Tinggal
bagaimana kau mewujudkannya. Seharusnya itu mudah. Semestinya itu indah.
Trumon, 2 Oktober 2015
Komentar
Posting Komentar