Cinta Sama Dengan Nol (23)
Belajar
Penulis : Santi Syafiana, S.Pd
Kokok ayam
membangunkan Asty. Dengan mata setengah terbuka, Asty mengumpulkan sisa-sisa
tenaganya berjalan menuju kamar mandi. Pak Ali, Bu Gusti dan Rini sudah bersiap
ke masjid.
“Hei Rin, tumben
sudah siap. Biasanya kalah terus sama ayam!” Asty menggoda Rini, adiknya yang
baru tamat SD itu.
“Enak aja, aku dari
dulu memang rajin ya. Ayam mah bukan tandinganku lagi,” celetuk Rini sambil
mencibirkan mulutnya.
“Oh ya? Du du du,
bijaknya,” tawa Asty.
“Sudah sudah, Asty
ayo segera wudhu. Kamu ikut shalat berjamaah di masjid kan?” Pak Ali berujar di
tengah tawa renyah Asty.
“Minum air
putih Ty. Lalu gosok gigi.
Kami berangkat ke masjid lebih dulu. Nanti kamu susul ya?” pinta Bu Gusti.
“Iya Bu.” Asty menggangguk lalu segera ke dapur. Minum air putih tiga kali
teguk. Lalu ke kamar mandi untuk gosok gigi. Setelah selesai Asty berlari mengejar ayah dan
ibunya. Mereka belumlah jauh. Dengan cepat Asty sudah membersamai langkah kaki mereka.
“Wah…kamu cepat sekali Ty,” komentar Bu Gusti.
“Iya Kak. Pasti karena kaki Kak Asty
tambah panjang Bu,” sahut Rini.
“Iya. Tambah
lincah juga ya,” Bu Gusti mencoba berkelakar.
“Apa sih Bu.
Sama saja,” Asty tersipu malu.
Tiba di
masjid. Azan subuh berkumandang. Kali ini Pak Ali yang jadi imam. Asty, Bu Gusti dan Rini mengambil saf perempuan paling
depan. Selesai salat seperti biasa, mereka jalan memutar. Pak Ali mengambil
rute pendakian ke bukit di belakang masjid. Tembus ke TK Al-Amin lalu ikuti
jalan kecil arah timur TK. Bu Gusti
setuju. Begitupun Asty dan Rini.
Pak Ali berjalan di depan memimpin pasukan. Di belakangnya ada Bu Gusti, Rini dan Asty. Dengan sigap Asty membimbing ibunya ke puncak. Walau tidak terlalu tinggi, bukit ini cukup
terjal. Pak Ali yang sudah terbiasa
olahraga tentulah medan ini cukup mudah baginya. Bu Gusti juga sehat dan kuat. Namun tetap perlu dibimbing agar tak terpeleset jatuh. Jalanan masih licin karena embun
pagi.
Asty membimbing Rini dengan hati-hati.
Namun di sepertiga pendakian bocah cilik ini mengaduh kelelahan.
“Kakiku pegal Kak,” selorohnya.
“Lemah kamu Rin, atau alasanmu saja ya,” selidikku.
“Benar Kak. Kemaren aku juga main kasti di sekolah. Makanya jadi kelelahan begini,” ucap Rini dengan wajah
memelas.
“Hoalah. Sini Kakak gendong.” Mendengar itu wajah
Rini menjadi cerah merona. Ia langsung menggelayutkan tangannya ke bahu Asty dan menyandarkan seluruh tubuhnya.
“Aih Rin. Kakak bercanda padahal,” Asty menurunkan Rini. Asty mendorong tubuh yang akan
beranjak remaja itu ke puncak bukit dengan santai. Bu Gusti yang menyaksikan jadi
kaget.
“Wah Pak. Anak kita Asty benar-benar sudah dewasa. Kuat banyak tenaga, tidak seperti biasa.”
“Iya Bu. Waktu berlalu tanpa terasa. Kita
harus siap menerima kenyataan kalau Asty sudah
dewasa dan siap melepasnya kapan saja,” ucap Pak Ali dengan nada bergetar.
“Haha, apa sih Ayah Ibu ini, aku sudah mendaki gunung dengan
siswa-siswa di Aceh. Ini mah kecil,” lagak Asty sekenanya.
“Ya, ya, ya…yang
sudah berpengalaman, gaya banget,” goda Rini bergelayut di bahu Asty. Asty
bersiap menyikut Rini namun Rini langsung lari ke belakang Bu Gusti.
“Sudah sudah. Kita istirahat
dulu. Ibu lelah nih,” Bu Gusti mengajak
semuanya duduk di atas rumput berselonjor kaki.
“Kak, ngajar di sana enak ya Kak?” tanya Rini.
“Enak banget Rin. Banyak teman. Banyak jalan-jalan. Banyak pengalaman. Seru deh,” kata Asty riang.
“Waah..nanti aku jadi guru juga lah. Ngajar anak anak
biar pintar,” sahut Rini.
“Hehe, jadi guru
itu gak ngajar aja Rin. Tapi juga belajar. Seperti kakak kemaren di Aceh. Kakak
banyak belajar dari siswa-siswa kakak,” Rini jadi terbawa suasana. Terkenang
dengan siswa-siswanya.
“Lo, kok kakak
belajar juga? Belajar apa?” Rini kebingungan.
“Belajar mengenal
diriku sendiri,” mata Asty berkaca-kaca.
Komentar
Posting Komentar