Cinta Sama Dengan Nol (18)
Jambo
Selepas shalat subuh Asty
sibuk berkemas-kemas. Ia memakai pakaian olahraga. Memasukkan makanan, minuman
dan perlengkapan shalat ke dalam tas. Asty dan dua belas siswanya akan mendaki
ke bukit belakang sekolah. Asty sangat bersemangat karena ini adalah pendakian
pertamanya. Kata orang, belum keren kalau belum mendaki gunung. Walau ini baru
bukit sih. Tidak setinggi gunung. Tapi tak apalah, pengalaman adalah guru yang berharga.
Sebenarnya mendaki bukit ini adalah ide Miza. Ia ingin
memperlihatkan kebunnya.Tak berapa lama, motor Miza terdengar dari depan rumah.
Asty segera berangkat dengan sebelumnya menyalami Pak Bahar dan Bu Juli.
“Fia ikut Kak ya?” Fia merajuk sejak semalam. Asty hanya
bisa menggelengkan kepala karena Fia tidak dapat izin dari Pak Bahar maupun Bu
Juli.
“Yang lain sudah kumpul semua Miza?”
“Sudah
Bu,”
“Kita parkir di sekolah ya?”
“Ya Bu,”
Miza menjawab pendek-pendek saja. Anak ini benar-benar pendiam.
“Oke, let’s go!”
Miza mengendarai sepeda motor lambat-lambat. Sesekali ia melihat ke arah spion.
“Ada bawa bekalkan Miza?” “Ada Bu”
“Mana?”
“Di tas Dani Bu,”
“Hmmm ya lah.” Asty mengakhiri pembicaraan karena sepertinya Miza memang tidak suka bersuara
Semua anak sudah tiba di sekolah. Mereka penuh gaya dan cukup segar. Beda dengan ketika jam sekolah.
“Oke, bekalnya ada kan?” “Ada Bu,”
“Kalau begitu aman. Kalian juga sudah SMA, gak perlu Ibu ingatkan lagi.”
“Kalau lelah, pusing atau sakit langsung lapor Ibu ya. Biar kita selamat pergi pulang, ayo kita berdoa dulu.” Asty memberi instruksi.
Kini mereka siap mendaki. Anak-anak berjalan dengan cepat
dan tangkas. Awalnya Asty bisa mengikuti langkah mereka. Namun lama kelamaan
Asty kewalahan. Ia merasa sangat lelah. Asty mengajak anak-anak berhenti.
“Katanya bilang sama ibu kalau kami lelah atau pusing,
nyatanya ibu yang lelah duluan.” Rasyid menertawakan Asty. Begitupun dengan
siswa yang lain. Asty jadi malu sendiri.
Selama perjalanan Asty seringkali berhenti. Beda dengan
siswanya. “Wah…kalian kok kuat sekali?” nafas Asty ngos-ngosan.
“Udah biasa Bu. Kami pulang sekolah biasanya ke
kebun yang letaknya di atas bukit,” Aris menjelaskan.
“Sejauh ini?”
Asty tercengang.
“Iya Bu, kan kata Ibu kalau terus diulang-ulang akan
terbiasa, hehe,” Aris tertawa.
“Iya juga ya. Sekarang Ibu yang belajar dari kalian.”
Walau lelah, Asty menikmati perjalanan itu. Pohon pala
berjejer dengan rapi. Semakin tinggi, pemandangan di bawah semakin indah.
Rumah-rumah tampak seperti kotak-kotak kecil.
Di perjalanan, mereka bertemu pondok-pondok kecil yang
dinamakan jambo. Tempat pemilik kebun beristirahat. Di setiap jambo ada kuali
dan tungku untuk memasak serta selang-selang yang mengalirkan air dari puncak
bukit. Air tersebut digunakan untuk memasak dan berwudhu.
“Itu jamboku Bu,” Miza menunjuk jambonya. Mereka
beristirahat di sana. Miza memperbolehkan teman-temannya mengambil buah pala
yang sudah besar di pohonnya.
“Ambil saja, tak
apa-apa,” kata Miza.
“Lo, buat apa ya? Kalian mau masak apa? Jangan diambil, nanti orang tua Miza marah.” Asty menasehati anak-anak.
“Gak apa-apa Bu. Dari sini ke sini semuanya pala Miza Bu,
buahnya banyak.” Miza menunjuk batas-batas kebunnya.
Anak-anak mengambil dengan riang. Zia lantas mengeluarkan
pisau dari tasnya. Ia membuka kulit pala dan melahapnya seperti memakan buah
apel.
“Ya Allah, kalian
makan pala seperti itu?” Asty terperangah.
“Memang seperti ini enak Bu. Apalagi tambah cabe dan garam.
Enak Bu, cobalah.” Zia memberikan satu buah pala dan pisau kepada Asty.
“Asty menirukan cara makan Zia. “Week, Asty
memuntahkannya. Rasa yang asing. Sepet campur pedas. Rasa yang mengejutkan di
lidah. Melihat itu anak-anak tertawa.
“Karena gak biasa tuh Bu,”
“Iya, itu kan buat
bumbu masak. Kalian ada-ada saja,”
“Kan lain lubuk lain ikannya Bu. Lain daerah lain kebiasaannya,” Miza menjadi banyak bicara.
Komentar
Posting Komentar