Cinta Sama Dengan Nol (6)
Wisudawati Patah Hati
“Wait what, matamu bengkak Ty, apa yang terjadi? Kamu gak tidur-tidur ya? Atau nangis. Ah gak mungkin nangis lah. Wong kamunya
baik-baik aja semalam,” Nina yang sudah siap dengan alat make up nya terkejut melihat wajah Asty yang tidak segar.
“Aku gak bisa
tidur semalam. Banyak nyamuk. Kamu make
over ya, biar auraku jadi segar dan memesona juga,” Asty menjawab dengan
tenang. Kesedihan sepertinya sudah larut dalam sujud yang panjang di sepertiga
malam tadi. Hatinya patah, namun bukan berarti ia tidak berbesar hati menerima
kenyataan.
“Ih kamu ini. Kan sudah kusuruh tidur cepat. Wah karyaku
nanti bisa tercurangi nih.” Nina membersihkan muka Asty dengan pembersih.
Berulang-ulang ia menekan bagian dekat mata Asty. Berfikir keras bagaimana
menyembunyikan mata kurang tidur itu.
“Make up aja deh
ah. Ngomel terus. Kaya’ gimanapun wajahku tetap manis dan gemesin kok Nin,”
“Ih diem ih. Ntar
belepotan. Aku butuh konsentrasi nih.”
Nina memoles wajah Asty dengan cekatan. Memadu madankan
dengan kebaya hijau kombinasi kuning emas yang dipakai Asty. Kemudian
membuatkan jilbab yang penuh intrik untuk sahabatnya itu. Memutar-mutar,
melilit-lilitkan dan tidak lupa menyematkan bros kembang emas di leher kiri
Asty.
“Oke. Perfecto Indonesiano Asty. You are beautiful because of me, Hihi,” Asty disuruh berdiri lama di depan cermin. Dengan lagak profesional Nina membangga- banggakan dirinya.
“Yee…ini memang karena aku cantik dari sononya keles,” jawab Asty cuek. “Heiii, kok kamu jawabnya enteng banget sih. Aku aja kagum sama kemampuanku. Masa’ kamu gak,” Nina cengengesan.
Asty tertawa kegirangan lalu duduk diam memperhatikan Nina
menghias diri. Banyak pikiran berkelebat dalam ruang sadarnya.
“Ty, yuk capcus. Aku udah selesai nih. Jangan lupa bawa toga.” Nina membangunkan Asty dari lamunannya. Keduanya mengambil toga kemudian langsung menuju gedung tempat wisuda. Di pelataran kampus tampak Doni melambai-lambaikan tangannya. Nina dan Asty segera menghampiri Doni.
“Wuih siapa ini?” Doni menunjuk Asty dengan tampang selidik. “Jangan bercanda deh Don,” Asty jadi salah tingkah.
“Canggih, serius lo. Canggih canggih. Kamu sebenarnya cantik banget lo Ty. Nina mah kalah.” Doni menatap Asty. Menunjukkan keseriusannya.
Huh palsu. Buktinya naksirnya sama Nina. Dasar lelaki jahat. Asty mengomel- ngomel dalam hati. Duh Gusti, katanya udah ikhlas, gimana sih? Asty dalam wujud peri baik mencoba menghentikan dumelan hatinya tadi.
“Iya Don dia gak percaya sih. Padahal aku selalu nyuruh dia dandan biar manis gitu. Tapi dianya mah gak peduli. Sekarang lihat hasilnya. Karyaku lo ini. Hehehe,” Nina sempat juga membanggakan diri.
“Iya, gak suka
aja. Gak biasa. Cantik itu kan
relatif makanya aku santai aja,” Asty pura-pura tersanjung dengan pujian
sahabatnya. Karena pujian itu terasa hambar baginya.
“Yuk fhoto dulu, sambil nunggu keluarga masing-masing.
Pasti nanti kita akan sibuk dengan kerabat kita,” Nina meminta salah seorang
teman yang lewat di depan mereka mengambilkan fhoto.
Mereka mencoba pose terbaik hingga Bobi, sang
pengambil fhoto berseru. “Hei, gak boleh
fhoto bertiga. Ntar yang di tengah meninggal dunia!”
“Ya ampun Bob, udah zaman manusia bisa rekreasi
ke bulan ini, masih percaya mitos gituan. Udah jepret aja,” sanggah Doni.
Asty mendapati dirinya ternyata berada di tengah. Hatinya
menjadi teraduk- aduk. Pikirannya semakin tidak menentu. Fiuh, jalan cintaku sudah tertulis ternyata. Usai fhoto fhoto,
dengan gelagapan Asty mencoba berpisah dari Doni dan Nina dengan alasan orang
tuanya sudah hampir sampai. Ia ingin menghampiri mereka di gerbang. Nina dan
Doni mengerti. Mereka juga harus menghubungi keluarga mereka masing-masing.
Beberapa menit sebelum acara resmi dimulai. Keluarga wisudawan semakin banyak berdatangan. Asty melihat ayah ibu Nina dan tampak Doni juga ikut dalam rombongan. Kesempatan itu ia gunakan untuk memperkenalkan diri dengan takzim kepada orang tua Nina. Mereka terlibat perbincangan yang hangat. Memang, Doni anak yang ramah dan banyak bicara tentunya. Semua orang pasti senang berbicara dengannya.
Melihat itu, Asty hanya menyapa sebentar namun
tidak bisa berlama-lama di sana. Tepatnya tidak mau. Ia ingin menikmati gegap
gempita wisuda dengan keluarganya saja. Mencoba bersembunyi dari dua sahabatnya
itu.
Ah, gegap gempita. Benarkah? Asty mengedarkan
pandangannya sekeliling. Semua orang bergerak namun tidak bersuara. Mereka
tertawa-tawa dalam kebahagiaan wisuda bersama sahabat dan keluarga, namun Asty
tidak mendengar apa-apa. Inikah yang namanya sepi di tempat ramai itu? Tepuk
riuh, gelak tawa yang membahana dari segala penjuru gedung pelaksanaan wisuda
sama sekali tidak mengusik kesepian yang dia rasakan.
Ah, serupa ini rasa patah hati itu ternyata. Miris
bukan main.
Komentar
Posting Komentar