Cinta Sama Dengan Nol (11)
Keluarga Pak Bahar
Rumah Pak Bahar bagus dan besar. Dengan gaya modern masa
kini. Lantainya keramik dengan warna kuning pasta. Senada dengan dindingnya
yang berwarna kuning cerah. Halaman depan juga luas. Terdapat satu pohon mangga
yang rindang di kanan depan rumah. Dan bagasi mobil di kirinya. Halaman samping
juga luas dan teduh. Karena di sana tertanam rapi pohon rambutan, jambu dan
kelengkeng. Rumah dan halamannya sangat bersih dan terawat.
Ketika mobil berhenti tepat di halaman rumah, seorang anak
lelaki berseragam SMP dengan cekatan mengambil barang Asty dari bagasi mobil.
Memasukkannya ke dalam rumah. Asty turun dengan malu-malu bercampur grogi. Ia
menyalami setiap orang yang menunggunya di rumah itu.
Pak Bahar memperkenalkan mereka satu persatu.
Menunjuk yang mana istri dan anaknya, kakak ipar pertama dan kedua lengkap
dengan suami beserta anak- anaknya, tetangga samping kiri, kanan dan depan
rumah. Lengkap dengan warna rumah mereka masing-masing. Mereka semuanya
tersenyum dan saling berbicara dalam Bahasa Aceh. Asty tidak mengerti apa yang
mereka katakan. Yang jelas dari binar mata mereka tampak kebahagiaan atas
kedatangan Asty ke rumah itu.
“Berbahasa Indonesialah Mak, dia mana paham bahasa kita,”
Pak Bahar berkata pada nenek yang rumahnya di samping kiri rumah Pak Bahar.
“Hana carong lon,”
kata nenek itu yang disambut gelak tawa mereka semua. Asty terbengong-bengong
hingga Fia, putri Pak Bahar menjelaskan bahwa nenek tidak bisa berbahasa
Indonesia. Dia mengerti namun tidak fasih mengucapkan. “Rata-rata orang-orang
tua di sini seperti itu Kak,” terang Fia. Asty manggut- manggut.
“Hana itu tidak Kak, carong itu bisa, lon itu saya,” sambung Fia
“Wuih unik juga ya. Di kampung kakak, hana itu biasanya digunakan untuk nama orang. Kalau lon dan carong, kakak baru sekali ini mendengar kata itu.”
“Nanti juga sering dengar
kok Kak, lama di sini kakak pasti fasih bahasa Acehnya.”
“Ajarin kakak ya Fia, kakak cepat kok belajarnya,” Asty mencoba melucu.
Namun Fia sepertinya
menanggapinya dengan biasa saja. “O kak,”
“O? Apa itu?”
“Ya kak, itu artinya,”
“Wah simpel banget ya,
haha. Coba yang lain, mana tahu ada yang lebih simpel lagi.”
“Apa ya? Ah kakak ini. Fia gak bisa menyebutkannya jika tidak
disebutkan apa Bahasa Indonesianya. Oh ini bisa kak, kelapa juga simpel.”
“Apa memangnya?” “U”
“U? Itu doank?”
“Iya kak,”
“Apa lagi, apa lagi?” Asty jadi semangat.
Fia berfikir keras. “Tidur juga simpel kak.
Tidur dalam bahasa Aceh, Eh.” “Eh? kalau kakak nyanyi Uoooo Uooo Eh, kelapa ya ya
ya, kelapa ya ya ya tidur
donk,”
Asty menjadi lucu sendiri.
Fia pun ikut tertawa.
Kelakar ini baru lucu baginya. Pak Bahar dan istrinya, Bu Juli juga ikut
tertawa. Rumah itu menjadi ramai.
“Tapi yang rumit juga
banyak. Fia bisanya ngajarin yang simpel simpel aja.” Pak Bahar menggoda putri
semata wayangnya.
“Tadi kan Kak Asty minta yang simpel Pak, nanti Fia ajarin yang
susahnya.
Kalau perlu Fia buatkan kamus,” Fia merengut.
“Haha, iya lah. Aneuk lon pintar. Tapi sekarang udah
dulu ya kursus Bahasa Acehnya. Ajak kak Asty ke dalam untuk istirahat dan
makan.”
“Ayo masuk Asty,” sambung Bu Juli. “Ya Bu, terima kasih.”
Setelah Asty masuk ke dalam. Rombongan penunggu tadi langsung bubar. Menuju rumah masing-masing. Tinggal Pak Bahar, Bu Juli dan Fia yang tinggal di rumah itu. Fia mengantarkan Asty masuk ke kamarnya. Sudah tersedia dua kasur di sana. Satu untuk Fia dan satu lagi tempat untuk Asty.
Fia sangat supel. Ia
langsung akrab dengan Asty. Ia ikut membantu Asty menata barang-barangnya di
kamar itu.
“Pajoe Bu…” Bu Juli tiba-tiba
sudah berada di pintu kamar.
“Eh oh…” Asty jadi gelagapan. Mencoba menebak apa yang dikatakan Bu Juli.
“Ayo tebak Kak, Mamak bilang apa?” Fia bermain tebak kata.
“Mamak? Fia manggil mamanya dengan mamak?” Asty malah tertarik dengan panggilan mamak.
“Iya Kak, kenapa memangnya?”
“Kalau di kampung kakak,
mamak itu panggilan untuk saudara laki-laki dari mama,”
“Wah jauh beda ya Kak,”
“Iya, itulah kayanya negara kita. Beraneka ragam bahasa dan suku bangsa. Tapi tetap satu jua,” Asty tiba-tiba menjadi bijaksana. “Pajoe Bu...” Bu Juli kembali bersuara.
“Apa artinya Fia? Kakak gak tahu. Bu kan ibu. Pajoe apa?”
“Haha, kak Asty
ini. Nyerah ya? Ini Fia kasih tahu. Bu itu
warnanya putih.
Rasanya enak. Kalau Pajoe
itu apa ya petunjuknya, hmm.” Fia berfikir sejenak. “Putih? Enak? Apa ya.
Es krim?”
“Fia kasih tahu saja deh kak. Fia gak pandai ngasih petunjuknya. Pajoe itu makan Kak. Bu itu nasi. Makan nasi. Mamak ngajak
makan nasi,”
“Oo…gitu,” Asty manggut manggut lantas menjawab “O bu.”
Asty mengikuti Fia dari belakang menuju ruang
makan.
Di meja makan sudah terhidang asam pedas ikan, ayam goreng balado, mie goreng dan gorengan seperti bakwan, tempe dan tahu goreng. Semua tertata rapi dan menggoda. Sungguh persiapan menunggu tamu yang istimewa. Asty merasa begitu tersanjung sekaligus malu. Ia merasa jadi merepotkan. Padahal sebenarnya tuan rumah senang sudah bisa memberikan hidangan untuk tamu mereka. Pak Bahar tampak sudah duduk menanti di salah satu kursi yang menghadap TV dengan piring sudah berisi nasi.
“Ayo makan Asty,” Bu Juli meletakkan piring dan gelas
berisi minuman ke depan Asty duduk.
“Asty saja Bu yang
ambil,” Asty menjadi kikuk.
“Jangan sungkan-sungkan ya. Coba semua makanannya. Belum
pernah makan masakan orang Aceh kan?” Pak Bahar mendekatkan makanan ke arah
Asty.
“Ya Pak,”
“Mirip masakan Padang kan? Tapi ada yang berbeda. Coba rasa
ikan ini,” Pak Bahar menyodorkan mangkok ikan berkuah warna orange. Asty sudah
mengambil nasi. Kini ia mengambil ikan dan menaburkan kuahnya di atas nasi
tersebut. Kemudian ia menyantap makanannya. Benar kata Pak Bahar. Ada rasa asam
segar bercampur pedas yang terasa dari kuah
ikan.
“Oh benar Pak, ada asam-asamnya. Segar,” kata Asty setelah
menelan suapan pertama.
“Coba tebak dari mana rasa itu berasal
kira-kira?” Ternyata Fia yang suka tebak-tebakan adalah cetak biru bapaknya.
Asty tertawa dalam hati.
“Apa ya Pak?” Asty
mencoba sesuap lagi.
“Sudahlah Pak, biarkan Asty menghabiskan makanannya,”
tiba-tiba Bu Juli bersuara. Bu Juli agak pendiam. Ketika bicara hanya satu
kalimat. Dia lebih banyak tersenyum. Kulitnya putih. Cantik. Mirip Umi Pipik,
istri alm Ustad Jefri Al Buchory. Dari romannya saja nampak sekali umurnya
terpaut jauh dengan Pak Bahar. Dan benar saja, Bu Juli 10 tahun lebih muda
dibanding bapak. Terlihat dari pajangan
kayu di dinding ruang makan. Ada fhoto Bapak, Bu Juli dan Fia lengkap dengan
tanggal lahir masing-masing.
“Hehe, iya. Jadi Asty, rasa asam itu berasal dari asam sunti. Bumbu masakan khas Aceh. Asam ini adalah belimbing wuluh yang direbus dengan garam lalu dijemur dengan sesekali ditaburi garam lagi. Proses penjemuran dilakukan di bawah terik matahari dalam beberapa hari hingga asam itu kering kecokelatan. Nah yang kamu makan itu adalah asam keueng (pedas) khas Aceh. Di Padang gak ada kan?” Pak Bahar semangat sekali menjelaskan.
“Gak ada Pak. Saya gak nyangka juga belimbing wuluh itu bisa diolah dan disulap menjadi sunti.” Terang Asty.
Asam sunti
Sumber Gambar :
Dokumentasi Pribadi
“Ya
sudah, tambah makannya Asty. Makan yang banyak. Jangan malu-malu,” “Iya Pak.
Wah saya jadi gak sabar menanti hari
esok. Ingin cepat-cepat
melihat sekolah.
Pasti banyak lagi hal baru yang bisa saya temukan.”
“Tapi besok tanggal merah Kak.” Fia mengingatkan.“Kalau
gitu besok kita pergi asmara subuh yuk Kak, Fia ada temannya, jadi Fia
diizinkan ya Pak?” Fia membujuk bapaknya yang dijawab oleh anggukan.
“Hore…besok kita asmara subuh ya Kak?”
Komentar
Posting Komentar