Ayat-Ayat Cinta 2


Tadi pagi nemu status medsos screen shot chat suami kepada istrinya. Minta maaf terlambat pulang. Dipenuhi kata-kata manis dengan segala aspartam dan siklamatnya. Penting banget ya kak? Harus?
Scroll lagi ke bawah. Muncul selfie-selfiean wajah bening dengan bibir dimonyong-monyong. Mata dikedip kedip sambil Sssssstttt, jari telunjuk nempel di bibir. Sang fhoto diberi caption kata-kata emas 15 mayam pula. Aigooo ahjumaaaa....ahjumonie.Untung-untung kalimat sendiri. Ini malah copas status penulis. Tanpa mencantumkan sumber lagi. Ih, malu ih.

Lanjut. Lanjut. Muncul kata-kata sesembahan antar wall. Kau adalah bidadariku. Yang akan menjadi istriku. Membina hidup bahagia bersama selamanya. Yiks. Yiks. Ngomong langsung aja deh. Temui ayahnya. Kesulitan nyari ayah bidadari ya?Dan heiii......kok aku jadi sewot sendiri yak? Apa setelah nikah aku mungkin akan jauh lebih dari itu. Hmm, jika itu terjadi, bisa dipastikan akan ada akun yang terblokir. Pasti.


Di era teknologi informasi dan komunikasi yang jor-joran. Informasi yang bisa diterima masyarakat jumlahnya bak gelombang tsunami. Jenis informasi yang muncul pun beragam. Mulai dari curahan hati seorang istri, curahan hati pembeli sayur, pamer kekayaan, kemesraan, kebahagiaan, kesedihan, keshalehan. Hingga masalah korupsi, konspirasi, prostitusi, dan buanyak lainnya.

Sakitnya, kita tidak tahu kemana kepercayaan ini dilabuhkan. Salah benar mustahil dibedakan. Wartawan yang seharusnya memegang teguh kode etik jurnalistik. Memaparkan sesuatu secara faktual dan terpercaya. Malah memenggal dan memelintir kebenaran sesuai keuntungan pribadi dan pemilik modal. Orang-orang beralih jadi penikmat tulisan ringan yang mereka sendiri pun bertanya, mengapa ini harus diberitakan?

Anehnya, orang-orang sudah tak malu lagi membicarakan aib sendiri. Mengumbar hal-hal yang sesungguhnya malah manis bila hanya dinikmati bersama orang terkasih. Mencaci, memarahi, mendebat tanpa dasar yang jelas. Huft Hayati lelah.

Woalaah, woles to...woles. Dunia maya doank kok. Mayaaa. Mayaaaa. Iya Luna. Iya. Karena maya inilah kita harus lebih bijaksana. Kala kita asyik memposting sesuatu seenak hati, ada beberapa anak yang sedang polos-polosnya mengikuti dan memahami bahwa begitulah standar bersosial sesungguhnya. Dampaknya nyata.

Apa ini masa keemasan bagi setan ya? Bisa jadi dia sedang lompat lompat kegirangan di sebelah. Pantesan serasa gempa terus. Hayati lelah-lelah iya, tapi tetep pantengin medsos orang-orang untuk diketawain, disebarin sekeliling kampung, diomong-omongin. Padahal sudah baca Q.S Al-Mu’minun ayat 1-3: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.”

Tuh kan, keasyikan nyerocos hampir lupa inti tulisan. Malu sebenarnya nulis review buku ini. Padahal 697 halaman saja. Aku menamatkan begitu lama. Kalau bukan nasehat Kang Mas buat Diajeng untuk jangan menunggu termotivasi dulu baru menulis, tapi menulis dulu biar termotivasi, sinarku akan kian meredup. Hanya saja begitulah. Pada halaman-halaman awal, aku membaca buku ini dengan cepat cepat. Belum sampai pertengahan mulai lambat lambat. Lalu laaaaambaaaaat laaaaambaaaaat. Barulah setelah pertengahan menuju ending, aku membaca tergesa gesa. Apakah ending ini sesuai dugaanku?

Kalau sudah membaca karya karya Kang Abik sebelumnya, sudah bisa dipastikan bagaimana ayat ayat cinta 2 ini. Something Kang Abik. Khas. Fahri dan Aisha yang sempurna. Kecantikan tokoh wanita yang tiada tara. Finansial, fisik, akhlak, intelegensi, jiwa seni, pengetahuan agama untuk tokoh utama nyaris tanpa cela. Maklum saja. Ini bukan novel biasa, tapi novel pembangun jiwa. Sebuah cita-cita dan pemikiran besar. Pengantar Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Waketum MUI di cover buku.

Kian ke sini, zaman semakin menggila. Masa di kala artis bisa masak telur ceplok saja jadi bahan berita. Fakta diputar balikkan tanpa rasa bersalah. Kita kehilangan sosok yang bisa dijadikan teladan. Sosok yang bisa ditiru keindahan akhlak dan konsistensinya menggapai ridho Illahi. Cermin seorang muslim menjalin hubungan vertikal dan horizontal berdasarkan Al-Quran dan Hadist. Fahri diciptakan untuk mengisi kekosongan itu.

Selain itu, Ayat-Ayat Cinta 2 mampu membuka mata kita tentang hal apa saja yang perlu kita pikirkan. Sesuatu yang perlahan sedang menggerogoti umat muslim di dunia. Kang Abik melahirkan tokoh Fahri dengan beragam tantangan dakwahnya menjawab isu islam kontemporer dengan bahasa sastra. Diwarnai dengan kisah cinta Fahri dan Aisha yang mengharukan.

Fahri sekarang menjadi profesor bidang filologi di The University of Edinburgh, Skotlandia. Ia berjuang dalam kesedihannya yang begitu mendalam karena kehilangan Aisha. Di awal-awal, pembaca dibuat bingung tentang Aisha. Kang Abik berputar-putar dulu dengan deskripsi suasana Kota Edinburg, pengenalan tokoh-tokoh pendukung, kiprah ilmiah dan dakwahnya, masalah-masalah yang dihadapinya di negara non muslim. Kesemuanya itu dibalut kesedihan akan bayang-bayang Aisha.

Bagian yang paling kusukai adalah debat Fahri dengan Rabi Yahudi, Tuan Baruch tentang amalek.Disitu aku benar-benar kagum dengan kecerdasan Kang Abik yang mengupas amalek dari sisi Yahudi dan Islam berdasar kitab suci masing-masing. Wah, wah ilmu agamaku cetek banget ya Allah.
Bagian yang tidak kusukai adalah Fahri tidak bisa menebak siapa Sabina. Tidak koheren dengan kecintaannya yang begitu dalam terhadap Aisha. Juga tentang penyiksaan yang digambarkan terlalu vulgar dan menakutkan. But over all, Ayat-ayat cinta 2 adalah novel yang cerdas dan berkelas. Diracik dengan kemampuan narasi yang mengagumkan, detail yang kuat, dan pelajaran yang berharga.

Setelah membaca buku ini, masih mau bahas telor ceplok? Yakin sehat?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online