To The Deeping Heart
Saat kau terbangun
tengah malam dalam mata tertutup. Kau yakin kau sudah bangun dengan kelopak
mata menempel erat di bola matamu. Kau tetap mencoba bangun hingga setan
membisikimu diam di tempat bersamanya. Kau tetap ingin bangun hingga semua
bantal, guling bahkan kasur bekerja sama menahanmu agar tidak beranjak se-inchi
pun. Massa tubuhmu memberat, menyalahi gravitasi. Kau tertawan dalam kondisi
yang tidak bisa kau kendalikan. Dan yang terjadi selanjutnya adalah cerita
berakhir. Tinggal kau dan rasa putus asa. Syukur-syukur kau tak muntah. Cerita
berakhir tapi tidak selesai. Karena tak putus-putus kau berputus asa. Seperti
aku, hari ini.
Empat tahun yang
lalu Tuhan mengabulkan doaku. Di tempat perantauanku nanti aku minta
dikelilingi oleh orang-orang berhati baik. Tulus dan kasih. Tuhan malah
memberiku lebih. Di sekitarku benar-benar hanya orang-orang berhati baik, lebih
dari sangkaanku. Aku bertemu orang tua baru, sanak saudara baru, adik-adik
baru. Hati-hati baru yang bersedia menempatkanku baik-baik di dalamnya. Aku
tidak istimewa tentu saja. Hanya saja dari mata mereka tergenang ketulusan yang
membuatku istimewa.
Tak pernah kudengar
riak hati mereka. Walau aku berterima kasih setiap hari akan hal itu. Hanya
saja terkadang aku menyesali karena tak tahu di kedalaman mana posisiku
sekarang. Terlalu gelap dan tak tertebak. Mereka seperti udara yang
mengelilingiku tiap detiknya namun tak teraba. Membisikkan namaku dalam doanya.
Lamat-lamat, tak terdengar. Saat aku masih bertanya-tanya, why?
Persis saat pertama
kali aku kembali ke kota ini setelah 3 tahun, aku diliputi rasa takut. Takut
menentukan sikap. Takut memulai dengan cara apa saja. Takut mencoba. Takut tak
ada lagi ruang untukku. Takut membuat kecewa. Takut dilupakan. Takut berubah.
Takut beriak setelah terpisah lama. Karena aku tidak istimewa tentu saja. Namun
takutku sia-sia belaka. Karena kedalaman hati itu tidak pernah berubah. Mereka menerimaku
dengan tangan terbuka. Memelukku hingga sesak nafas. Bersyukur aku kembali
hadir di hadapan mereka. Saat aku masih bertanya-tanya, hatimu terbuat dari
apa?
Aku bukan tipe
orang yang suka berbagi kabar lewat telpon atau surat. Bagiku jika tidak ada
kabar apa-apa berarti baik-baik saja. Bukan karena aku sombong, aku bahkan
setiap hari mengingat, mendoakan, berterima kasih, memuji, berharap, tentang
mereka. Hanya saja aku sungkan, malu dan speechless berkata-kata. Jika
sudah kehilangan topik dan mono, aku jadi merasa sudah mengganggu waktu mereka
yang berharga. Namun Papaku bilang itu tidak baik, karena kita tidak bisa
mengendalikan hati dan pikiran seseorang. Mereka belum tentu bisa menerima
keadaan kita, apalagi mereka belum tentu sependapat dengan kita. Yap, aku tahu,
tapi entah kenapa aku tetap begitu. Aku salah. Benar sekali. Karena itulah aku
takut. Namun lihatlah, hati itu tidak berubah. Aku bertambah malu.
Tak terasa aku
sudah lama di sini namun 130 km jauhnya dari tempat tugasku dulu. Mereka bersedih
dengan tempat tugasku yang sangat jauh. Mereka menyiapkan keperluanku selengkap
dan senyaman mungkin agar aku tidak kesulitan di tempat tugas baruku. Mereka
bahkan memperkenalkanku kepada semua teman-teman mereka di sini agar
memperhatikan dan menjagaku. Aku sangat segan telah membuatmu kerepotan. Lalu
kau bilang kami senang sambil memelukku lagi.
Sialnya, aku tetap
tidak berubah. Aku masih sungkan dan segan menelpon lama-lama. Hanya sesekali
dan itupun aku malu jika tak ada topik lagi yang harus aku percakapkan. Aku
ingin berubah namun kenyamanan di tempat baru membuatku berfikir nanti saja,
nanti saja. Hingga aku membuat masalah yang sama. Miss komunikasi yang
sama. Aku putus asa. Aku harus bagaimana. Walau satu kata maaf saja dariku,
semua akan kembali baik-baik saja. Namun aku merasa semua masih tidak baik-baik
saja walau aku berbuat apa saja.
Kendati demikian,
aku tetap akan mencoba. Maafkan aku jika menjadi pemuncak nominasi makhluk
paling mudah menyakiti. Maafkan aku telah selihai awan pembuat hujan di
sudut-sudut matamu. Maafkan aku yang belum bersuhu ruangan untuk mencairkan
hatimu yang beku. Maafkan aku yang selalu mengakhiri semuanya dengan kata maaf.
Aku tidak janji bisa mengubah semuanya karena ku masih tak berdaya mengukur
kedalaman hatimu. Kedalaman rasa tulusmu. Menebak bahagia itu seperti apa
bagimu?
Kata orang, akan
selalu ada kesempatan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya jika kau
bersungguh-sungguh menggapai apa yang kau inginkan. Jika memang begitu aku
mungkin sudah banyak menghabiskan kesempatan yang ku punya hingga muncul lagi
kesempatan-kesempatan baru yang ku prediksi akan berakhir sama.
Let my star shines
on your night everlastingly. Although there will be another star coming through
brighter.
Bolehkah aku tetap
berharap?
Komentar
Posting Komentar