Annisa dan Rumah Lereng yang Dirindukan (Bag. II)


Aku sakit. Sakit kepala yang cukup mengenaskan. Aku juga punya hobi baru yaitu uring-uringan. Entah mana di antara keduanya yang menjadi penyebab muncul yang lainnya. Ketika sakit kepala itu menyerang sampai ke ubun-ubunku, beberapa setan membisikiku untuk mengumbarnya ke semua akun sosmed yang aku punya. Mulai dari “Tuhan…sembuhkan aku…..” atau “kenapa kepala ini begitu sakit Tuhan. Atau “sakit ini tidak tertahankan, maafkan semua kesalahanku teman”. Dan kata-kata lainnya yang membuat semua orang tidak menolerir keberadaanku.

Untunglah semua itu tertepis oleh Annisa. Seseorang yang lebih sering tidak menepati janjinya padaku, tetapi tetap aku rindukan setengah mati itu. Dia pasti sedang makan sate sekarang, menggantikan apapun yang kuinginkan.


Aku sudah tak terkejut lagi jika nomor Papa muncul berkali-kali di layar ponselku. Karena yang akan kudengar adalah suara Annisa. Jika sudah begitu aku harus segera mengambil headset, menarik nafas panjang untuk mendengar ceritanya yang runtun dan kronologis. Annisa belum berubah. Nisa masih menjelaskan pokok cerita yang hanya secuil dengan narasi yang panjang lebar.

Kali ini Nisa melaporkan tentang nilai Try Out UN nya yang cemerlang. Nisa membanggakan nilai-nilai itu kepadaku sebelum aku bertanya tentang teman-temannya yang lain. Nisa mengakui nilai mereka lebih tinggi tapi ada tapinya. Nisa me-list tapi tapi temannya itu satu per satu. Si A begini tapi ia begitu. Si B begitu tapi ia begini. Lalu tertawa renyah sendiri. Aku tidak banyak komentar. Karena aku tidak kecewa padanya. Annisa lah yang terbaik. Tolong rahasiakan ini darinya. Dia bisa lupa untuk berhenti tertawa.

Di lain hari dia melaporkan lagi hasil TO UN nya padaku. “Nilai Isya menurun Titi tapi…..” Hhh lanjut saja Annisa. Telinga kakakmu ini sudah siap mendengar 1001 tapi mu yang lain. Begitulah setiap nilai TO keluar. Aku akan mendapat laporan nilai plus “tapi” Annisa dan kawan-kawannya yang lain. Tertawanya selalu renyah. Dan Annisa tetap yang terbaik.

Tentang nilai-nilainya di sekolah, Nisa selalu melapor. Entah itu bagus atau buruk. Aku tidak pernah memintanya demikian. Mungkin itu sebagai wujud tanggung jawabnya dengan nilai-nilai itu. Walau Nisa malu dan takut dengan nilai itu, Nisa tetap melapor. Karena dia sudah siap dengan pertahanan dirinya. Terlepas dari itu salah atau benar, aku tetap bangga dengan usahanya.

Hiks. Kalau sudah seperti ini aku jadi ingin pulang ke rumah lereng itu. Berkumpul bersama walau kumpul sebentar dan kemudian sibuk masing-masing. Rumah yang menjadikan sebuah kerinduan itu adalah rasa yang amazing dibanding rasa lainnya. Rasa yang membuatmu berdebar, berharap dan berdoa.

Dan di sini, aku dengan larutan jenuh tidak bisa dibedakan lagi. Aku tak tahu kemana harus membuang endapannya. Ketika aku mengatakannya pada Annisa dalam suasana sendu yang mendayu-dayu, Annisa malah tertawa. ”Hore…kapan Titi pulang?” Aku malah jadi uring-uringan. “Isya pikir segampang itu”. Nisa hanya terheran-heran. Mengapa orang dewasa harus serumit itu. Mengapa mereka memiliki banyak hal untuk dicemaskan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online