Rumah Tangga


Buku ini sudah lima kali naik cetak dalam rentang waktu singkat. Buku yang laris manis di pasaran ini membuatku tak sabar hadir di genggamanku. Apalagi judulnya Rumah Tangga. Kebetulan, aku sebentar lagi akan berumah tangga. Eh salah, maksudku, aku sebentar lagi juga akan berumah tangga. Salah, maksudku, aku akan berumah tangga sebentar lagi. Ahrg sudah, sudah. Semua orang tentu akan menuju ke tahap itu bukan? Berumah dalam cinta, di tangga menuju syurga. Asyik, asyik.
Fahd Pahdepie salah satu dari beberapa penulis favoritku. Bedanya, dia istimewa. Karena di setiap tulisannya, terbersit rasa tulus yang membuatku menghormati karya-karyanya. Ada pelajaran yang membuatku tertunduk dalam lalu menyahut, betul betul betul. Ada kata-kata emas yang membuatku kagum. Kejutan-kejutan menarik yang membelalakkanku tak cukup sekali dua kali. Khususnya dalam Rumah Tangga ini. Aku bangun dengan cinta. Kau rawat dengan doa. Demikianlah kita. Berumah tangga menuju surga.


Jika kukatakan aku selalu mencintaimu, sesungguhnya aku berbohong; kadang-kadang aku membencimu. Namun apa bedanya? Benciku selalu membuatku semakin mencintaimu. Kalimat pembuka surat lamaran Fahd kepada Rizqa istrinya. Cara sederhana yang melayarkan mereka dalam bahtera rumah tangga. Cinta tidak absolut. Dia berubah-ubah. Berdaur membentuk dirinya kembali. Benar saja, aku juga pernah merasakan masa-masa dimana mencintai adalah membuatnya merasa bersalah terhadapmu tetapi akhirnya kau akan mengatakan It’s okay. All is well. Melakukan apa saja yang mengkhawatirkannya lalu menyelesaikannya dengan manis. I’m fine. Membencinya setengah mati sekaligus menyadari hanya dia yang membuatmu tak tertarik jebakan cinta lainnya.

Buku ini berisi kumpulan memori pernikahan Fahd dengan istrinya dan renungan-renungan tentang bagaimana menjadi suami, istri sekaligus orang tua yang baik. Secara garis besar, memang buku kumpulan cerita ini mengisahkan tentang cerita cinta orang biasa seperti yang dituturkan pengarang dalam kata pengantar. Pembaca lebih membutuhkan cermin yang jujur untuk menakar apa yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan cerita muluk-muluk. Bukan cinta yang menimbulkan angan-angan tinggi, sejati, suci, megah dan ungkapan luar biasa lainnya. Pembaca membutuhkan kisah cinta sederhana milik orang biasa. Sehingga pembaca serasa membaca petualangannya sendiri. Ya ya, aku juga mengalaminya, berbisik seperti itu.

Kendati garis finishku lebih jauh.. Walau aku belum sampai pada keputusan terbaik itu. Meski aku belum hampir terbunuh oleh kebahagiaan. Pesan penulis terlalu mudah membanjiri hatiku. Aku paling suka nasihat ayah Fahd sebelum pernikahannya

Kelak jangan bercita-cita membelikan rumah untuk istrimu, bercita-citalah untuk tinggal bersama dan hidup berbahagia dengannya, selama-lamanya. Jangan berdoa ingin membelikan kendaraan mewah untuk anak-anakmu, berdoalah agar kalian bisa pergi bersama-sama, bertamasya atau berbelanja dengan bahagia. Jangan bermimpi ingin memberangkatkan kedua orang tuamu naik haji, bekerjalah sungguh-sungguh dan mari berangkat bersama-sama untuk merayakan cinta dengan bersujud di rumah Tuhan sebagai keluarga. Jangan hanya berharap masuk surga nanti bisa berbahagia; masukilah surgamu hari ini dengan bersyukur dan berbahagia.

Tak hanya itu. Masih banyak hal lain yang pesannya cukup mengena. Seperti kita selalu gagal menertawakan lelucon yang sama untuk kali kedua atau ketiga? Lalu mengapa kita selalu berhasil menangisi hal yang sama berkali-kali? Tentang cara pandang kita menyikapi masalah. Dan juga, sedikit orang yang tak bisa mendengar tetapi banyak orang yang tak bisa mendengarkan. Itu tentang dua orang yang saling meninggikan suaranya dalam satu pertengkaran karena sama-sama ingin didengarkan. Tentu saja, salah satu di antara keduanya perlu segera menyadari bahwa setiap percakapan selalu memerlukan telinga yang mendengarkan. Kita selalu mudah dikuasai emosi sehingga yang kita lakukan bukan lagi meminta didengarkan tetapi teruslah menyakiti.

Mungkin itu hanyalah hal-hal kecil yang membumbui tatanan hidup berumah tangga. Namun, jika tidak disikapi dengan baik, yang kecil itu akan membesar menjadi monster raksasa dan sulit dikendalikan. Karena kita adalah dua orang egois yang memutuskan untuk menikah. Saling mendukung, menguatkan, bersandar dan mencintai. Bukan hanya menuntut. Karena pasangan kita memang bukan pasangan terbaik di dunia, sebab kita juga bukan pasangan terbaik di dunia.
Suka dengan penuturannya yang mengalir, walau ada beberapa renungan yang datang tiba-tiba. Membentuk susunan acak yang keluar dari jalurnya. Kehadiran mereka terkesan diupayakan untuk menambah-nambah halaman. But, for the whole, I’m lovin’ it.


Komentar

  1. Sudah terlalu rindu dengan tulisan-tulisan kakaku ini. Happy terus dengan tangga rumah menuju surganya kak ya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapak, Ibuk dan Ceritanya

Your Dying Heart

Pengalaman TOEFL ITP Online